Hak Waris Suami, Saat Istri Wafat
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika ada seorang istri wafat meninggalkan suami, berapakah hak waris suami? Dan dalam kondisi apa saja? Mohon penjelasan Ustaz. --Hidayat, Depok
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Salah satu referensi terkait adalah buku al-Wasith fi ‘Ilmi al-Mawarits karya Prof Dr Abdul Wahhab Hawwas (salah satu mata kuliah yang diajarkan kepada kami saat menempuh S1 pada tahun 1997 di Universitas Al-Azhar, Kairo). Semoga setiap ilmu tersebut menjadi jariyah bagi beliau.
Dalam buku tersebut dijelaskan panjang lebar terkait dengan bagian suami yang kemudian saya sarikan ulang agar lebih ringan.
Apabila istri wafat dan meninggalkan suami, maka suami mendapatkan hak waris dalam dua kondisi.
Pertama, [1] Suami mendapatkan seperempat dari harta warisan sebagai ashabu al-furudh saat istri yang wafat meninggalkan keturunan yang mewarisi dengan cara fardhan atau ashabah.
Kesimpulan tersebut sebagaimana firman Allah SWT,
"... Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya..." (QS an-Nisa: 12).
[2] Contoh masalah. Di antara contoh masalah tersebut adalah sebagai berikut.
[a] Seorang istri wafat meninggalkan suami dan anak, maka suami dapat seperempat sebagai ashabu al-furudh, sedangkan anak mendapatkan sisa ashabah.
[b] Istri wafat meninggalkan suami, anak, dan anak perempuannya dari suami sebelumnya (selain suami ini), maka suami tersebut mendapatkan seperempat.
Kedua, [1] Suami mendapatkan setengah dari warisan (fardhan) saat istri wafat tidak meninggalkan keturunan yang mewarisi, seperti anak dan cucu.
Kesimpulan tersebut sebagaimana firman Allah SWT,
"Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak..." (QS an-Nisa: 12).
Karena yang dimaksud dengan anak (ولد) dalam ayat tersebut adalah keturunan yang mewarisi karena fardhan dan karena ashabah.
Keturunan yang mewarisi sebagai ashabul furudh adalah anak perempuan atau anak perempuan dari laki-laki dan seterusnya ke bawah.
Sedangkan keturunan yang mewarisi sebagai ashabah adalah anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, baik keturunan suami tersebut ataupun keturunan dari suami sebelumnya.
Ini adalah pendapat mayoritas ahli fikih karena anak laki-laki dari perempuan atau anak perempuan dari anak perempuan itu pada hakikatnya dinisbatkan kepada ayah atau kakeknya yang shahih dan tidak dinisbatkan kepada ibunya atau kakeknya yang tidak shahih.
Oleh karena itu, kalimat walad (ولد) atau anak itu dilekatkan kepada anak kandung baik laki-laki atau perempuan. Juga dilekatkan kepada keturunan anak laki-laki seperti anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari laki-laki, dan seterusnya ke bawah, juga cicit laki-laki dan seterusnya ke bawah.
Namun kalimat walad atau anak tidak mencakup anak dan cucu perempuan. Atau dengan ungkapan lain, kata walad atau anak itu tidak dilekatkan kepada keturunan yang ada anak perempuan antara yang wafat dengan keturunan tersebut karena keturunan ini dikategorikan sebagai dzawil arham menurut mayoritas ahli fikih.
[2] Contoh masalah. Di antara contoh masalah tersebut adalah sebagai berikut.
Seorang istri wafat meninggalkan suami dan saudara kandung, maka suami mendapatkan setengah dari warisan sebagai ashabu al-furudh karena tidak ada keturunan yang mewarisi. Adapun saudara kandung itu mendapatkan sisa ashabah. Wallahu a’lam.