Jual-Beli al-Mal al-Musytarak dan al-Mal al-Musya’
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Mohon penjelasan Ustaz terkait jual-beli harta milik bersama (al-mal al-musytarak atau al-mal al-musya'). Bagaimana ketentuan fikihnya menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI? -- Saiful, Majalengka
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jika menelaah Fatwa DSN-MUI No 159/DSN-MUI/VII/2024 tentang Jual Beli al-Mal al-Musytarak dan al-Mal al-Musya’, maka bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, gambaran (tashawwur). Al-mal al-musytarak (harta bersama) adalah harta yang jelas ukuran dan nilainya yang dimiliki oleh dua pihak atau lebih, baik harta dalam syirkah-milk maupun harta dalam syirkah ‘uqud.
Sedangkan al-Mal al-Musya’ adalah harta yang tidak jelas batas-batas kepemilikannya secara fisik, baik merupakan bagian dari al-mal al-musytarak maupun bagian dari harta yang bukan al-Mal al-Musytarak (disebut al-mal al-mufraz).
Di antara contoh al-mal al-musytarak, al-mal al-musya’, dan unit hishshah adalah misalnya dua orang (si A dan B) melakukan patungan membeli mobil seharga Rp 100 juta.
Si A berkontribusi sebesar Rp 20 juta dan si B berkontribusi sebesar Rp 80 juta, maka status kendaraan tersebut milik bersama atau al-mal al-musytarak dari si A dan B.
Dimiliki bersama karena kendaraan itu hasil patungan atau kontribusi dari keduanya. Pada saat yang sama, kepemilikan atas kendaraan tersebut juga al-musya’ karena tidak ada batas-batasnya bukan komponen 80 persen dari kepemilikan si B dan bukan terdiri dari sparepart atau bagian-bagian kendaraan.
Oleh karena itu, al-mal al-musya’ itu diangkakan dengan persentase. Karena bagian dari kepemilikan si A dan B tidak ada batasnya, maka bagian kepemilikan masing-masing di dalamnya ada unit-unit hishshah karena persentase.
Beberapa fatwa DSN MUI terkait jual beli musya’ telah terlebih dahulu ada. Namun belum menjelaskan secara spesifik dan detail.
Seperti Fatwa No 120 tentang Sekuritisasi EBA, Fatwa No 73 tentang Musyarakah Mutanaqishah, dan Fatwa No 89 tentang Refinancing Syariah.
Kedua, kriteria al-mal al-musytarak, al-mal al-musya’, dan unit hishshash.
(a) Al-mal al-musytarak, al-mal al-musya’, dan unit hishshash harus harta yang jelas ukurannya dan secara ‘urf boleh diperjualbelikan.
(b) Tidak setiap unit hishshah dikategorikan unit hishshah menurut syariah, tetapi ia harus memenuhi kriteria minimalis mabi’. Hal ini merujuk kepada kriteria dalam setiap mabi’, yaitu mutaqawwam (bernilai).
Oleh karena itu, unit hishshah yang tidak bernilai materil menurut ‘urf, maka tidak dikategorikan sebagai unit hishshah.
Sebagaimana Fatwa DSN-MUI No 159/DSN-MUI/VII/2024, “Penjualan unit hishshah dilakukan dalam jumlah yang memenuhi syarat mabi’, berdasarkan kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.”
Ketiga, ketentuan hukum. Jual-beli al-mal al-musytarak dan jual beli al-mal al-musya’ boleh dilakukan selama memenuhi ketentuan berikut.
(1) Memenuhi rukun dan syarat akad jual-beli. Jual-beli al-mal al-musytarak, al-mal al-musya’, dan unit hishshah harus memenuhi rukun dan syarat akad jual-beli, karena jual-beli ketiga mal tersebut bagian dari akad jual-beli.
Oleh karena itu, rukun pelaku akad (pembeli dan penjual), objek yang diperjualbelikan, serta shigat itu harus terpenuhi dalam setiap transaksi jual-beli tersebut.
Hal ini sebagaimana Fatwa DSN-MUI Nomor 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual-Beli, baik terkait shigat akad, pihak yang melakukan akad (subjek hukum), mabi’, maupun tsaman.
(2) Jual-beli al-mal al-musytarak, al-mal al-musya’, dan unit hishshash.
(a) Jual-beli al-mal al-musytarak boleh dilakukan atas dasar kesepakatan dan kerelaan (ridha) para pihak, tidak di bawah paksaan (ghair al-mukrah).
(b) Jual-beli al-mal al-musya’ kepada mitra atau kepada selain mitra, boleh dilakukan jika mitra-penjual telah mendapat izin dari mitra atau mitra-mitra lainnya serta membawa maslahah untuk para mitra.
(c) Jual-beli unit hishshash antara sesama mitra atau antara mitra dengan selain mitra (selaku pembeli) boleh dilakukan setelah mitra-penjual mendapat izin dari mitra lainnya serta tidak memudaharatkan mitra dalam melakukan tasharruf terhadapnya.
Sebagaimana penjelasan Ibnu al-Mundzir,
... وَذَلِكَ أَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ أَنَّ بَيْعَ المُشاعِ جائزٌ، وأنَّ قَبْضَهُ التَّخْلِيَةُ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَبَيْنَ الشَّيءِ المُشَاعِ.
".... Hal itu dikarenakan tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam bahwa menjual barang/aset musya’ adalah boleh dan qabd-nya dilakukan dengan cara pelepasan kuasa penjual dan pembiaran (takhliyah) antara pembeli dan aset musya’ yang dimaksud.” (Ibnu al-Mundzir al-Naisaburi, al-Ausath fi al-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, jilid 12, hal 14).
Sebagaimana penjelasan Ibnu Hazm,
فَإِنَّهُمْ لَا يَخْتَلِفُونَ فِي أَنَّ بَيْعَ الْمُشَاعِ جَائِزٌ فِيمَا يَنْقَسِمُ وَمَا لَا يَنْقَسِمُ مِن الشَّرِيكِ وَغَيْرِهِ.
"Mereka (para ulama) tidak berbeda pendapat bahwa menjual aset musya’ adalah boleh, baik aset tersebut kategori aset yang dapat dibagi maupun tidak dapat dibagi, baik (menjualnya) kepada mitra maupun bukan mitra.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, jilid 6, hal 264).
Sebagaimana penjelasan al-Nawawi,
يَجُوزُ بَيْعُ الْمُشَاعِ كَنِصْفٍ مِنْ عَبْدٍ أَوْ بَهِيمَةٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ خَشَبَةٍ أَوْ أَرْضٍ أَوْ شَجَرَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ بِلَا خِلَافٍ سَوَاءٌ كَانَ مِمَّا يَنْقَسِمُ أَمْ لَا كَالْعَبْدِ وَالْبَهِيمَةِ لِلْإِجْمَاعِ.
"Menjual aset musya’ adalah boleh seperti (menjual) setengah dari sosok seorang budak, atau seekor hewan, sebuah pakaian, atau sepotong kayu, atau sebidang tanah, atau sebuah pohon, atau selain itu, tanpa ada perbedaan pendapat (di antara para ulama). Baik aset musya’ tersebut kategori aset yang mungkin/dapat dibagi maupun tidak seperti seorang budak atau hewan, berdasarkan ijma’." (Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarha al-Muhadzadzab, jilid 9, hal 256).
Sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah,
يَجُوزُ بَيْعُ الْمُشَاعِ بِاتّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا مَضَتْ بِذَلِكَ سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم.
“Menjual aset musya’ adalah boleh berdasarkan (pendapat para ulama) muslimin sebagaimana Sunnah Rasulullah s.a.w. menunjukkan hal itu sebelumnya.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 29, hal 233).
(3) Hak khiyar dan berakhirnya akad.
(a) Seperti lazimnya dalam akad-akad lain, hak khiyar juga boleh dilakukan dalam jual-beli al-mal al-musya’, baik hak tersebut melekat pada satu mitra dengan lainnya maupun antara satu mitra dengan selain mitra. Seperti apa teknisnya yang menjadi rujukan adalah kebiasaan baik (al-‘urf ash-shahih).
Sebagaimana Fatwa DSN-MUI No 159/DSN-MUI/VII/2024, “Hak khiyar dalam jual beli al-mal al-musya’, baik yang dilakukan antara mitra yang satu (selaku penjual) dengan mitra lainnya (selaku pembeli), maupun antara mitra (penjual) dengan selain mitra (selaku pembeli), pada dasarnya bersifat kontraktual atau kebiasaan baik (‘urf) yang berlaku dan/atau atas dasar kemashlahatan.”
(b) Sebagaimana aset atau harta lain, al-mal al-musytarak juga bisa dialih kepemilikan kepada pihak lain. Tetapi dengan syarat, alih kepemilikan tersebut itu disetujui atau diterima oleh para mitra.
Ada istilah khusus terkait alih kepemilikan manfaat al-mal al-musytarak tersebut. Namanya dalam fikih dikenal dengan akad muhaya’ah.
Padanannya kalau dalam alih kepemilikan manfaat lain itu alih kepemilikan biasa tidak ada istilah tersebut.
Misalnya, mengalih kepemilikan manfaat rumah berarti itu menyewakan. Jadi menyewakan dalam manfaat barang itu dalam manfaat al-mal al-musya’ padanannya adalah al-muhaya’ah.
Ketentuan itu sebagaimana Fatwa DSN-MUI No 159/DSN-MUI/VII/2024, “Manfaat dari al-mal al-musytarak dapat diterima oleh mitra dan/atau mitra-mitra berdasarkan kesepakatan, baik cara memanfaatkan maupun periodenya, yang dilakukan dengan akad muhaya’ah."
(c) Jika setiap akad bisa berakhir, maka kepemilikan seseorang di al-mal al-musytarak atau al-mal al-musya’ akan berakhir saat para pihak atau pemilik sepakat untuk mengakhirinya.
Misalnya, dengan mengalihkannya kepada pihak lain melalui penjualan atau hibah atau cara lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Sebagaimana Fatwa DSN-MUI No 159/DSN-MUI/VII/2024, “Kepemilikan al-mal al-musytarak dan al-mal al-musya’ berakhir jika para pihak sepakat untuk mengakhirinya dengan mengalihkannya kepada pihak lain melalui penjualan atau hibah kepada mitra atau selain mitra, atau cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariah.”
Wallahu a’lam.