Lomba Agustusan dengan Hadiah dari Peserta, Qimar?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pada Agustusan kemarin di perumahan kami diselenggarakan kegiatan dan lomba. Di antaranya lomba balap karung dan tarik tambang. Untuk anak-anak seperti lomba menggambar dan mewarnai. Karena kegiatan berbiaya, kemudian panitia dan Pak RT setempat memutuskan agar biaya ditanggung semua warga yang tinggal di perumahan. Diputuskanlah setiap keluarga membayar Rp 100 ribu yang akan digunakan untuk biaya kegiatan termasuk hadiah untuk peserta. Apakah ini termasuk judi? Mohon penjelasan Ustaz. -- Faisal, Lampung
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Sesunggunya, jika kegiatan lomba itu baik (berkesesuaian dengan tuntunan syariah dan kebiasaan baik masyarakat), maka lomba dengam hadiah dari peserta lomba itu dibolehkan dan tidak dikategorikan sebagai qimar (judi).
Detailnya, kesimpulkan ini didasarkan pada beberapa hal berikut.
Pertama, kriteria maisir atau qimar (judi). Sesungguhnya satu permainan atau lomba (dengan sumber hadiah dari para peserta lomba) itu dikategorikan sebagai maisir atau qimar (judi) apabila memenuhi tiga kriteria.
Kriteria pertama, seluruh peserta membayar. Ada uang keluar dari kantongnya untuk hadiah pemenang lomba.
Kriteria kedua, uang yang diserahkan berstatus taruhan; yang membayar sedang bertaruh atau melakukan taruhan dengan uang tersebut.
Kriteria ketiga, efek dari status dana sebagai taruhan adalah ada yang menang ada yang kalah. Dan pada saat ada yang menang, ia akan mendapatkan seluruh uang yang diserahkan oleh para peserta.
Begitu pula sebaliknya. Mereka yang kalah berarti akan kehilangan dana yang dipertaruhkan.
Kedua, jika merujuk kepada kegiatan Agustusan, maka bisa disimpulkan bahwa dana yang diserahkan oleh warga sebagai peserta itu bukan taruhan, tetapi ta’awun atau hibah atau infak untuk biaya kegiatan yang salah satunya adalah hadiah.
Walaupun perlombaan dengan hadiah itu bersumber dari para peserta, maka tidak dikategorikan sebagai judi (maisir atau qimar) karena tidak ada taruhan.
Di antara alasannya, [1] Sudah maklum (dipahami umum oleh masyarakat) bahwa lomba-lomba tersebut diselenggarakan dalam konteks guyub, persaudaraan, dan keakraban. Bukan sedang bertaruh dan bukan sedang berjudi.
[2] Sudah maklum juga bahwa besaran hadiah tidak seberapa. Semua peserta yang ikut kontestasi atau bertanding tidak sedang mencari hadiah, tetapi dalam kerangka guyub, ketemu tetangga, ketemu warga sehingga jauh sekali dari motif taruhan dan berjudi.
[3] Pada umumnya taruhan dan judi terjadi menciptakan permusuhan dan merusak ukhuwah. Berbeda dengan lomba Agustusan yang menambah guyub dan keakraban di antara warga.
Ketiga, menurut Syekh Ali Qurrah Dagi, iuran warga itu lebih tepatnya bukan taruhan, bukan bagian dari judi, tetapi itu adalah iuran atau infak keluarga atau dalam fikih dikategorikan sebagai tanahud yang diabadikan dalam sirah Rasulullah SAW dan sahabat sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Bari.
Imam Bukhari menjelaskan dalil kebolehan an-nahdu,
لما لم ير المسلمون في النهد بأسا أن يأكل هذا بعضا وهذا بعضا (ابن حجر، فتح الباري، 6/55).
“Umat Islam tidak melarang an-nahdu di mana sebagian menyantap hidangan ini dan sebagian lain menyantap hidangan lain." (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/55).
Menurut pendapat yang kuat atau terpilih, pada prinsipnya setiap lomba diperbolehkan dalam perlombaan yang bermanfaat, baik isi perlombaannya ada referensinya dalam nash atau tidak.
Bahkan seluruh lomba olahraga itu diperbolehkan. Juga perlombaan lain seperti edukasi atau pendidikan dan sejenisnya dengan ketentuan target, sarana, dan isi perlombaan halal serta tidak menyebabkan kepada aktivitas yang tidak halal.
Wallahu a’lam.