Risiko Kredit, Ada Dalilnya?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Salah satu risiko yang harus dikelola bank saat menyalurkan pembiayaan adalah risko kredit untuk memitigasi agar para penerima pembiayaan tidak gagal bayar. Apakah risiko kredit itu ada dalil dan tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Asrul, Jakarta
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, istilah risiko kredit lebih tepat di bank konvensional karena aktivitasnya seputar menerima dan menyalurkan kredit. Sedangkan di bank syariah lebih tepat digunakan risiko pembiayaan.
Karena di antara aktivitas bank syariah adalah menerima dana pihak ketiga dengan salah satunya akad bagi hasil. Selanjutnya sebagai pengelola menyalurkan dana tersebut dalam pembiayaan kepada pihak ketiga. Jadi kredit itu nomenklatur di bank konvensional, sedangkan di bank syariah itu pembiayaan.
Kredit yang dimaksud di atas dalam konteks bank syariah adalah pembiayaan seperti pembiayaan berbasis murabahah, pembiayaan berbasis IMBT, dan pembiayaan lainnya selain pembiayaan yang berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).
Karena pembiayaan berbasis bagi hasil akan masuk dalam kredit investasi.
Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank (counterpart default), termasuk risiko kredit akibat kegagalan debitur, risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk.
Maksudnya, memitigasi agar para penerima pembiayaan tidak gagal bayar dalam memenuhi kewajibannya kepada bank syariah.
Misalnya, bank syariah A menerima pengajuan pembiayaan rumah dari calon nasabah senilai Rp 1 miliar dengan tenor angsuran 5 tahun, maka risiko kredit yang dimaksud adalah bank harus mengukur dan memitigasi agar penerima pembiayaan bisa melunasi cicilan ke bank syariah tepat waktu sesuai dengan tenornya.
Ikhtiar tersebut misalnya dilakukan dengan mengambil koleteral, meminta persetujuan dari pasangan jika berkeluarga, memastikan validasi identitas, dan lainnya.
Kedua, pengelolaan risiko kredit. Jika menelaah buku Manajemen Risiko Untuk Officer, Bankers Association for Risk Management, maka bisa disimpulkan bahwa pengelolaan risiko kredit dilakukan dalam hal-hal berikut.
(1) Identifikasi. Di antara yang harus diidentifikasi adalah sumber risiko, yaitu aktivitas pembiayaan, aktivitas treasury dan aktivitas trade finance, identifikasi secara individu, dan identifikasi secara portofolio.
(2) Pengukuran. Di antara parameter profil risiko adalah komposisi portofolio aset termasuk jenis akad yang digunakan dan tingkat konsentrasi, kualitas penyediaan dana, kecukupan pencadangan, dan profil risiko kredit.
(3) Pemantauan. Di antara hal yang perlu dilakukan pemantauan adalah pemantauan secara individu dan pemantauan secara portofolio.
(4) Pengendalian. Di antara hal yang perlu dikendalikan adalah pengendalian secara individual dan pengendalian secara portofolio.
(5) Mengkomunikasikan. Di antara hal yang perlu dikomunikasikan adalah laporan kepada manajemen (direksi dan dewan komisaris) serta regulator mengenai komposisi portofolio pembiayaan, kualitas kredit atau pembiayaan bank, profil risiko kredit bank dan perhitungan kecukupan modal risiko kredit.
Ketiga, risiko kredit menurut fikih.
(1) Menjadi kewajiban setiap calon kreditur untuk memastikan debitur mampu memenuhi kewajibannya.
Sebagaimana firman Allah SWT,
"...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS al-Baqarah [2]: 195).
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"Siapa yang meminjam harta orang lain dengan niat ingin ditunaikan (dibayar), niscaya Allah akan memudahkan dalam menunaikannya. Sebaliknya, siapa yang mengambil harta orang lain untuk memusnahkan (dirusak), maka Allah akan membinasakannya." (HR Bukhari).
(2) Bank syariah sebagai pemberi pembiayaan itu berhak untuk meminta kolateral atau rahn untuk memastikan kemampuan bayar nasabah pada saat default atau gagal bayar.
Sebagaimana firman Allah SWT,
"Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang...” (QS al-Baqarah [2]: 283).
Dengan merujuk pada ketentuan sebagaimana dalam fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
(3) Beberapa cara atau teknis pengelolaan risiko kredit dalam identifikasi, pengukuran, dan pemantauan itu bagian dari cara atau sarana agar amanah bisa ditunaikan.
Amanah sebagai mudharib atau pengelola atas dana dana pihak ketiga (DPK) yang dititipkan kepada bank syariah bisa ditunaikan.
Cara-cara itu dibolehkan selama tidak ada yang bertentangan dengan prinsip syariah sebagaimana kaidah,
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الإِبَاحَةُ إِلَّا أَنْ يَّدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalah itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
Dan sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"Dari Anas bahwa Nabi SAW …bersabda, 'Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian'." (HR Muslim).
Wallahu a’lam.