• Sunrise At: 05:25
  • Sunset At: 17:49
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Usaha tidak Halal, Modal dan Keuntungannya Menjadi tidak Halal?

Apakah modal usaha menjadi tidak halal jika diketahui usaha yang dikelola tidak halal?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Jika diketahui bahwa usaha yang dikelola itu tidak halal, apakah modal usaha sebelumnya itu menjadi tidak halal juga? Apakah hasil usaha boleh dimanfaatkan oleh pelaku yang menjalankan usaha tersebut? Bagaimana ketentuan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. --Arsal, Sumedang

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, contoh usaha tidak patuh syariah. Di antara contohnya adalah usaha lembaga keuangan konvensional, investasi pada saham nonsyariah, perjudian, serta produsen atau distributor atau pedagang makanan dan minuman yang haram atau barang dan jasa yang merusak moral atau mudharat.

Seperti dua pihak bertransaksi, di mana salah satunya sebagai investor atau pemilik modal dan yang lain sebagai pengelola dengan tenor usaha enam bulan.

Seiring waktu setelah berjalan dua bulan, investor mengetahui bahwa usaha yang dikelola adalah bandar judi online, dan ini menyalahi perjanjian sebelumnya bahwa modal tersebut akan dikelola untuk bisnis jualan perangkat IT.

Tentu yang menjadi bahasan dalam pertanyaan itu pada saat diketahui atau ditemukan ada penyimpangan syariah dalam transaksi. Sedangkan jika para pihak atau seseorang melakukan transaksi dengan sadar ada penyimpangan syariah, maka itu tidak dibolehkan dalam syariah (diharamkan) sebagaimana penegasan para ahli fikih "Ihdats al-aqdi al-fasid haram (bahwa membuat perjanjian yang tidak patuh syariah itu haram)".

Kedua, ketentuan terkait hasil usaha yang tidak halal. Hasil usaha yang tidak halal (seperti usaha judi dan khamr) tidak diboleh menjadi pendapatan hasil usaha.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,

"Dari Abdurrahman bin Wa’lah As-Saba’i dari penduduk Mesir, bahwa dia pernah bertanya kepada Abdullah bin Abbas tentang perasan anggur. Ibnu Abbas menjawab, 'Suatu ketika seorang laki-laki menghadiahkan sekantong khamr kepada Rasulullah SAW, beliau pun bersabda kepadanya,

“Belum tahukah kamu bahwa Allah telah mengharamkannya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Kemudian dia berbisik kepada orang yang ada di sampingnya.

Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Apa yang kamu bisikkan kepadanya?” Dia menjawab, “Saya memerintahkan supaya menjualnya.” Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya yang diharamkan meminumnya (khamr), maka diharamkan juga jual belinya.”

Abu Sa’id melanjutkan, 'Kemudian laki-laki tersebut membuka kantung khamr dan menumpahkan isinya semua'." (HR Muslim).

Jika seseorang melakukan aktivitas yang tidak halal (seperti kredit ribawi bagi debitur dan kreditur) dan mendapatkan kompensasi atau fee atas jasa yang tidak halal tersebut, maka perlakuannya sebagai berikut.

(1) Menjadi dana sosial layaknya infak. (2) Para pihak dalam transaksi tidak menjadi penerima secara langsung seperti pembayaran pajak. (3) Penerima manfaat adalah maslahat umum atau mustahik seperti beasiswa bagi siswa berprestasi atau kurang mampu.

Sebagaimana Fatwa DSN MUI No 123/DSN-MUI/XI/2018 tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah, dan Lembaga Perekonomian Syariah.

Dan sebagaimana standar AAOIFI,

لَا يَجُوْزُ الْاِنْتِفَاعُ بِالْعُنْصُرِ الْمُحَرَّمِ  الْوَاجِبِ التَّخَلُّصِ مِنْهُ – بِأَيِّ وَجْهٍ مِنْ وُجُوْهِ الْاِنْتِفَاِع. وَلَا التَّحَايُلُ عَلَى ذَلِكَ بِأَيِّ طَرِيْقٍ كَانَ وَلَوْ بِدَفْعِ الضَّرَائِبِ.

"Pendapatan nonhalal tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan apapun, walaupun dengan cara hilah, seperti digunakan untuk membayar pajak." (Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah, AAOIFI, No 21 tentang Saham).

Juga sebagaimana penjelasan Al-Qardhawi,

وَالْحَقُّ أَنَّ هَذَا الْمَالِ خَبِيْثٌ بِالنِّسْبَةِ لِمَنِ اكْتَسَبَهُ مِنْ غَيْرِ حِلِّهِ، وَلَكِنَّهُ طَيِّبٌ بِالنِّسْبَةِ لِلْفُقَرَاءِ وُجِهَاتِ الْخَيْرِ .هُوِ حَرَامٌ عَلَيْهِ، حَلَالٌ لِتِلْكَ الْجِهَات. فَالْمَالُ لَا يَخْبُثُ فِيْ ذَاتِهِ، إِنَّمَا يَخْبُثُ بِالنِّسْبَةِ لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ لِسَبَبٍ مُعَيَّنٍ.

“Dana nonhalal kotor bagi yang mengusahakannya, tetapi halal bagi (penerimanya, seperti) orang fakir dan kebutuhan sosial karena dana tersebut bukan haram fisiknya, melainkan karena pihak dan sebab tertentu."

Ketiga, ketentuan terkait modal usaha. Sesungguhnya modal usaha itu boleh dijadikan pendapatan selama halal, legal, dan bukan haram secara fisiknya sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah,

فَأَمَّا الْمُتَعَامِلُ بِالرِّبَا فَالْغَالِبُ عَلَى مَالِهِ الْحَلَالُ، إِلَّا أّنْ يُّعْرَفَ الْكُرْهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، وَذَلكَ أَنَّهُ إِذَا بَاعَ أَلْفًا بِأَلْفٍ وَمِائَتَيْنِ، فَالزِّيَادَةُ هِيَ الْمُحَرَّمَةُ فَقًطْ، وَإِذَا كَانَ فِيْ مَالِهِ حَلَالٌ وَحَرَامٌ وَاخْتَلَطَ لَمْ يَحْرُمْ الْحَلَالُ بَلْ لَهُ أَنْ يَّأْخُذَ قَدْرَ الْحَلَالِ كَمَا لَوْ كَانَ الْمَالُ لِشَرِيْكَيْنِ، فَاخْتَلَطَ مَالُ أَحَدِهِمَا بِمَالِ الْآخَر فَاِنَّهُ يُقَسَّمُ بَيْنَ الشَّرِيْكَيْنِ ... وَكَذَلِكَ مَنْ اخْتَلَطَ بِمَالِهِ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ، أُخْرِجَ قَدْرُ الْحَرَامِ وَالْبَاقِي حَلَالٌ لَهُ. (مجموع الفتاوى ٢٩/٢٦٨).

“Adapun orang yang bertransaksi secara ribawi, maka yang dominan adalah halal kecuali diketahui bahwa yang dominan adalah makruh. Karena jika sesorang menjual 1.000 seharga 1.200, maka yang haram adalah marginnya saja. Jika pendapatannya terdiri dari dana halal dan haram yang bercampur, maka bagian yang haram ini tidak mengharamkan bagian yang halal. Ia bisa mengambil bagian yang halal tersebut, sebagaimana jika dana dimiliki dua orang syarik, dana syirkah telah bercampur dan menjadi milik keduanya, maka dana tersebut dibagi kepada dua syarik tersebut. Begitu pula dana halal bercampur dengan dana haram, maka persentase dana haram dikeluarkan, maka sisanya adalah dana halal." (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 29/268).

Dalam ungkapan Ibnu Taimiyah dijelaskan, “Fazziyadatu hiya al-muharramatu faqath (maka yang haram adalah marginnya saja)."

Ungkapan ini menjelaskan bahwa yang diharamkan itu adalah bunga atau interest-nya saja. Sedangkan modal usaha itu tetap berstatus halal selama modalnya halal, legal, dan bukan haram secara fisiknya.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia