Aset Negara (Nonkomersial), Wajib Zakatkah?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Aset-aset yang dimiliki oleh negara yang sifatnya layanan publik seperti SD, SMP, rumah sakit daerah/pusat, dan perguruan tinggi itu apakah wajib zakat atau tidak? Bagaimana ketentuan fikihnya? Mohon penjelasan Ustaz. --Yasmin, Aceh
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, gambaran (tashawwur). Salah satu contoh aset publik yang biasa dijelaskan dalam literatur fikih klasik adalah aset bait al-mal, yaitu aset yang diperoleh dengan cara yang halal dan legal, yang dikelola oleh pemerintah sebagai representasi dari rakyat dan digunakan untuk kepentingan publik.
Aset-aset tersebut tidak diinvestasikan atau tidak dikelola sebagai aset bisnis. Di antara contohnya adalah beberapa layanan atau fasilitas publik, seperti layanan pendidikan tinggi, menengah, dan dasar (sektor pendidikan), layanan kesehatan seperti RSUD atau RSUP, layanan publik di bidang penyiaran seperti televisi pemerintah.
Kedua, ketentuan hukum. Menurut mayoritas ahli fikih, ulama salaf dan khalaf serta ulama kontemporer, aset negara nonkomersial yang berfungsi sebagai layanan publik seperti contoh-contoh tersebut tidak wajib zakat.
Ketiga, referensi dan pendapat para ahli fikih. Di antara referensi dan dalilnya adalah sebagai berikut.
(1) Firman Allah SWT,
"Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS at-Taubah: 103).
Makna ayat ini adalah perintah kepada Rasulullah SAW untuk menghimpun zakat dari para sahabat yang hartawan, yang definitif siapa orangnya, bukan sahabat yang tidak definitif.
(2) Sabda Rasulullah SAW kepada Muadz saat mengutusnya ke Yaman.
Rasulullah SAW berkata kepada Muadz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman, "...Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan untuk orang-orang fakir dari mereka..." (HR Bukhari).
Ungkapan Rasulullah SAW “tukhadzu min aghniyaihim” menunjukkan bahwa zakat itu diambil/dihimpun dari para hartawan yang definitif.
(3) Sesungguhnya, zakat hanya diwajibkan saat aset tersebut dimiliki secara sempurna. Salah satu konsekuensi adalah pemiliknya definitif siapa orangnya atau pihaknya, dan pemiliknya bisa mengelola aset tersebut.
Hal ini berbeda dengan aset negara yang tidak diinvestasikan, yang tak dimiliki oleh personal tertentu karena ia dimiliki oleh publik. Bahkan, otoritas yang mengelolanya pun tidak bisa campur tangan mengeksekusi mengelola aset tersebut karena terbatas diberikan kewenangan mengelolanya sesuai dengan mandat dari masyarakat.
(4) Dalam buku Ahkam wa Fatawa Zakah, Baitu az-Zakah al-Kuwaiti cetakan ke-14, tahun 2021, Kuwait, hal 140-141, dijelaskan,
المال العام المخصص لتقديم خدمات ومنافع يحتاجها المجتمع دون استهداف الربح، وسد كل عجز يتعرض له هذا النوع من المال العام وهذا النوع لا تجب فيه الزكاة.
“Setiap aset publik yang diperuntukkan bagi fasilitas memenuhi kebutuhan hajat masyarakat tanpa ada tujuan komersial atau keuntungan, maka itu tidak wajib zakat."
أولاً: المال العام هو المال المرصد للنفع العام، دون أن يكون مملوكاً لشخص معين أو جهة معينة. كالأموال العائدة إلى بيت مال المسلمين (الخزانة العامة للدولة) وما يسمى اليوم بالقطاع العام.
ثانياً: لا تجب الزكاة في المال العام، إذ ليس له مالك معين ولا قدرة لأفراد الناس على التصرف فيه، ولا حيازة لهم عليه ولأن مصرفه منفعة عموم المسلمين.
"(1) Aset publik adalah aset yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat umum dan keberadaannya tidak dimiliki oleh personal tertentu atau lembaga tertentu seperti aset yang dikelola oleh kebendaharaan negara atau yang hari ini disebut dengan aset milik negara.
(2) Aset-aset tersebut tidak wajib zakat karena tidak dimiliki oleh personal atau entitas, dan setiap personal tidak mampu atau tidak memiliki kewenangan untuk mengelola karena peruntukannya bagi masyarakat umum." (Nadwatu az-Zakah yang kedelapan, Doha, 1998).
(5) Shalih bin Muhammad al-Fauzan dalam tulisannya "Zakat Amwal ad-Dawlah", hal 441, mengutip penjelasan para ahli fikih:
(a) Imam Syafi’i menjelaskan:
قال الشافعي: وإذا جمع الوالي الفيء ذهباً أو ورقاً فأدخله بيت المال فحال عليه حول أو كانت ماشية فرعاها في الحمى فحال عليها حول فلا زكاة فيها، لأن مالكيها لا يحصون ولا يُعرفون كلهم بأعيانهم (الأم للشافعي ٦٧/٢).
“Apabila otoritas menghimpun fai dalam bentuk emas ataupun mata uang kemudian ia setorkan ke Baitul Mal dan sudah berusia satu tahun atau yang dihimpun itu hewan kemudian ia rawat dan sudah berusia satu tahun dalam perawatannya, maka itu tidak wajib zakat karena pemiliknya tak terhitung dan tidak bisa diketahui personalnya." (Al-Umm, Imam Syafi'i, 2/67).
(b) As-Sarkhasi menjelaskan:
وقال السرخسي: فإن الزكاة لا تجب إلا باعتبار الملك والمالك؛ ولهذا لا تجب في سوائم الوقف ولا في سوائم المكاتب، ويعتبر في إيجابها صفة الغنى للمالك، وذلك لا يوجد هنا إذا اشتراها الإمام بمال الخراج للمقاتلة، فلا تجب فيها الزكاة إلا أن يكون مراده أنه اشتراها لنفسه فحينئذ تجب عليه الزكاة باعتبار وجود المالك وصفة الغنى له (المبسوط للسرخي ٥٢/٣).
“Sesungguhnya kewajiban zakat itu merujuk pada kepemilikan (siapa pemiliknya). Oleh karena itu, aset-aset wakaf berbentuk ternak itu tidak wajib zakat. Begitu pula di antara kriteria wajib zakat adalah ketercukupan dana/surplus bagi pihak wajib zakat. Dan itu tidak terjadi dalam masalah ini. Apabila pemimpin negara membelinya dengan dana pemerintah untuk kebutuhan perang, maka itu tidak wajib zakat. Kecuali jika pemimpin negara membelinya untuk kebutuhan pribadi, maka pada saat itu wajib zakat karena ada pemiliknya dan karena itu adalah surplus." (Al-Mabsuth, as-Sarkhasi, 3/52).
(c) Dalam Hasyiyah ad-Dasuqi dijelaskan:
وفي حاشية الدسوقي على الشرح الكبير في إقطاع الإمام للمعادن : أو يجعله للمسلمين، أي فيقيم فيه من يعمل للمسلمين بأجرة، وإذا جعله للمسلمين فلا زكاة؛ لأنه ليس مملوكاً لمعين (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير ٤٨٧/١).
Dalam Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarh al-Kabir fii Iqtha’ al-Imam lilma’adin dijelaskan: Atau otoritas memperuntukkan aset atau fasilitas tersebut untuk memenuhi hajat umat Islam, maksudnya ia memperuntukkan itu bagi para pegawai yang bekerja untuk umat Islam dengan fee. Jika itu dijadikan untuk umat Islam, maka tidak wajib zakat karena tidak dimiliki oleh personal tertentu. (Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarh al-Kabir, 1/487).
(d) Dalam Hasyiah ash-Shawi dijelaskan:
وجاء في حاشية الصاوي على الشرح الصغير في إقطاع الإمام للمعادن: فقد علمت حكم ما إذا أقطعه لشخص معين، ويجب على ذلك المعين زكاته إن خرج منه نصاب حيث كان عيناً، وأما إذا أمر بقطعه لبيت مال المسلمين فلا زكاة فيه؛ لأنه ليس مملوكاً لمعين حتى يزكي. (حاشية الصاوي على الشرح الصغير ( بلغة السالك) ٤٢١/١).
Dalam Hasyiah ash-Shawi ‘ala Asy-Syarh ash-Shaghir fii Iqtha’ al-Imam lilma’adin dijelaskan, "Saya paham bagaimana ketentuan hukum saat saya menyisakan/memberikan aset tersebut untuk personal tertentu, di mana orang tersebut harus menunaikan zakatnya jika memenuhi nishab karena ia dikategorikan sebagai hartawan. Jika ia memerintahkan untuk menyisihkannya dalam bendahara negara, maka tidak zakat, karena itu tidak dimiliki oleh personal.” (Hasyiah ash-Shawi ‘ala Asy-Syarh ash-Shaghir (Bulghatu al-Salik) 1/421).
Wallahu a’lam.
