Dropshipper Harus Serahkan Fisik Pesanan ke Pembeli?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya jualan kue secara online tanpa stok barang. Jika ada pesanan, baru saya membeli atau pesan kue ke supplier atau produsen sekaligus meminta mereka mengirim kue tersebut ke alamat pembeli saya. Apakah jual beli seperti ini dibolehkan? Sebagai dropshipper, apakah harus menyerahkan sendiri objek jual beli ke pembeli? Mohon penjelasan Ustaz. -- Lisa, Depok
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Sesungguhnya, dropshipper tidak harus atau tidak wajib menyerahkan langsung fisiknya. Oleh karena itu, orderan bisa diberikan fisiknya kepada konsumen melalui supplier. Bahkan, dropshipper boleh tidak ketemu dengan konsumen, tetapi fisiknya diserahkan oleh pihak lain (supplier atau kurir).
Kebolehan tersebut dengan ketentuan sebagai berikut.
(1) Penjual sebelum menjual telah memiliki barang tersebut. Sebagaimana hadis,
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, "Saya menemui Rasulullah SAW, lalu berkata, 'Seorang laki-laki datang kepadaku meminta agar saya menjual suatu barang yang tidak ada pada saya. Saya akan membelikan untuknya di pasar. Kemudian saya menjualnya kepada orang tersebut.' Rasulullah SAW menjawab, 'Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu'." (HR Tirmidzi).
Sebagai konsekuensi penjual telah memiliki, maka penjual menanggung risiko dan berkewajiban atas barang yang telah dijualnya hingga diterima konsumen.
(2) Sebagai konsekuensi penjual telah memiliki, maka penjual menanggung risiko dan berkewajiban atas barang yang telah dijualnya hingga diterima konsumen.
Sebagaimana kaidah,
الْغُرْمُ بِالْغُنْمِ
"Risiko berbanding dengan manfaat."
Hal ini didasarkan pada tuntunan dan ketentuan berikut.
Pertama, ketentuan tentang serah terima (taqabudh). Setiap kali terjadi jual-beli, maka harus ada serah terima barang dan uang. Uang atau barang tersebut tidak harus diterima fisiknya, tetapi boleh diserahkan oleh pihak lain, seperti kurir atau supplier. Sementara penjual hanya ber-ijab qabul dengan konsumen.
Serah terima tidak mesti fisiknya (at-taqabudh haqiqi), tetapi juga boleh dengan serah terima nonfisik (at-taqabudh al-hukmi).
Transaksi dengan objek yang diserahterimakan nonfisiknya (at-taqabudh al-hukmi) itu sah selama:
(a) Pembeli menerima bukti kepemilikan (sejenisnya yang legal) sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Atau (b) dengannya pembeli bisa memanfaatkan sebagai barang miliknya.
Atau (c) jika yang ditransaksikan itu masih inden (maushuf fii dzimmah), maka harus di-ta’yin (harus spesifikasi atau harus jelas barang mana yang dibeli).
Dengan demikian, dari yang berstatus maushuf berubah menjadi mu’ayyan setelah diberikan kewenangan untuk dimiliki dan dimanfaatkan.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para ulama.
Di antaranya: Al-Khathib menjelaskan,
لِأَنَّ الشَّارِعَ أَطْلَقَ الْقَبْضَ وَ أَنَاطَ بِهِ أَحْكَامًا، وَلَمْ يُبَيِّنْهُ وَلَا حَدَّ لَهُ فِي الُّلغَةِ، فَرَجَعَ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ.
“Ketika syariat Islam ini mewajibkan serah terima dalam setiap transaksi itu tanpa menjelaskan mekanismenya, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi pelaku pasar.” (al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, 2/72).
Kedua, terkait dengan beberapa hadis Rasulullah SAW, di antaranya,
Dari Zaid bin Tsabit, "Sesungguhnya Nabi SAW telah melarang untuk menjual barang di tempat pembeliannya hingga para penjual tersebut memindahnya ke tempat tinggal mereka.” (HR Abu Dawud dan Daruquthni).
Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya sampai ia menakarnya terlebih dahulu." (HR Muslim).
Dari Jabir berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Jika kamu membeli makanan janganlah menjualnya sebelum menjadi haknya secara sempurna." (HR Ahmad dan Muslim).
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang seseorang untuk menjual bahan pangan sebelum dia terima. Saya berkata kepada Ibnu Abbas, "Bagaimana hal tersebut?" Dia berkata, "Itu berarti dia menjual dirham dengan dirham sedangkan bahan pangannya belakangan." (HR Bukhari dan Muslim).
Para ahli hadis seperti ash-Shan’ani dan Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa sesungguhnya beberapa model serah terima dalam hadis-hadis terkait; memindahkan barang yang dibeli ke tempat lain (hatta yahuzaha at-tujjaru ila rihalihim), ditakar (hatta yaktal), dan dikuasai (hatta yastaufi) itu bukan ketentuan hukum, tetapi hanya contoh dan kebiasaan para pelaku pasar saat itu.
Yang menjadi pesan hadis-hadis tersebut adalah objek jual-beli telah dimiliki oleh pembeli.
Oleh karena itu, sesungguhnya, maksud hadis Rasulullah SAW bahwa seseorang tidak boleh menjual barang yang telah dibelinya dari supplier sebelum menerima barang tersebut, tidak berarti barang itu harus diterima fisiknya terlebih dahulu, baru kemudian dijual ke konsumen.
Namun yang menjadi pesan hadis-hadis Rasulullah SAW adalah barang tersebut sebelum dijual harus dimiliki terlebih dahulu.
Serah terima sebagai salah satu konsekuensi dari memiliki bisa dilakukan dengan beragam cara sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat pada saat ini, termasuk transaksi online selama barang tersebut disepakati dan dimiliki dengan seluruh konsekuensi hukumnya.
Serah terima sebagai salah satu konsekuensi dari memiliki bisa dilakukan dengan beragam cara sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat pada saat ini, termasuk transaksi online selama barang tersebut disepakati dan dimiliki dengan seluruh konsekuensi hukumnya.
Ketiga, contoh praktik dropship dengan penyerahan langsung dari supplier yang dibolehkan, yaitu:
(1) Pesan dengan pembayaran tunai. Pada tanggal 1 Januari 2024, Aisyah pesan 5 baju untuk keluarga dengan ukuran S, M, L, XL, XXL kepada Ahmad sebagai dropshipper dan mentransfer Rp 2,5 juta ke rekening Ahmad (beli dengan akad salam atau istishna’).
Di antara ketentuan syariahnya: (a) berlaku seluruh ketentuan akad salam atau istishna’. (b) Hak dan kewajiban pembeli dan penjual telah berlaku dan harus diimplementasikan, di antaranya penjual berkewajiban menyediakan barang yang dibeli atau dipesan sesuai dengan kriterianya.
(2) Dropshipper beli ke supplier. Tanggal 1 Januari 2024, kemudian Ahmad membeli pesanan tersebut dan mentransfer uang Rp 2 juta kepada supplier dan meminta supplier untuk mengirim barang tersebut kepada pembeli (Aisyah) dengan akad salam muwazi atau istishna’ muwazi.
(3) Supplier mengirim langsung ke konsumen. Pada tanggal 3 Januari 2024, Anton sebagai supplier tidak mengirim barang kepada Ahmad, tetapi mengirim langsung barang pesanan kepada pembeli (Aisyah) (tasallum wa taslim).
Ahmad menerima pernyataan bahwa barang yang ada di tangan Anton yang baru selesai dibuat itu diserahterimakan secara online dan milik Ahmad serta seluruh risikonya ada di pundak Ahmad.
Di antara ketentuan syariahnya: (a) Ahmad memberikan kuasa kepada Anton untuk mengirim barang atas nama Ahmad kepada Aisyah (wakalah). (b) Ahmad sebagai penjual bertanggung jawab atas barang hingga diterima oleh Aisyah (sesuai dengan kaidah al-ghurmu bil ghunmi).
Wallahu a’lam.
