• Sunrise At: 05:27
  • Sunset At: 17:46
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Seluruh Biaya Usaha Bagi Hasil dari Modal?

Bagaimana tuntunan mengelola biaya operasional dari modal mudharabah?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dalam mengelola usaha bagi hasil (mudharabah) diperlukan biaya seperti biaya operasional dan lainnya. Apakah biaya tersebut dapat dialokasikan dari modal mudharabah? Bagaimana tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan ustadz. --Hasan, Jambi

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Dalam bukunya, Syarikat fii Fiqh al-Islami, Prof Dr Rosyad Hasan Khalil menjelaskan, pendapat fikih ihwal biaya aktivitas usaha yang harus dibebankan kepada modal.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

(1) Biaya yang diambil dari modal hanya untuk aktivitas usaha di perjalanan (safar). Detailnya, menurut mayoritas ahli fikih, selama pengelola tinggal di tempat usaha (hadhar), mudharib (pengelola) tidak berhak atas biaya usaha mudharabah.

Karena ia tinggal di lokasi usahanya bukan karena usaha tersebut, tetapi karena itu adalah tempat tinggalnya sebelum akad mudharabah yang dilakukannya.

Juga karena pengelola (mudharib) telah mensyaratkan dalam perjanjian dengan mendapatkan bagian dari keuntungan usaha, maka ia tidak boleh mendapatkan bagian lain (seperti biaya operasional).

Di samping itu, biaya yang dimaksud dapat lebih besar dari keuntungan hingga menyebabkan hanya ia sendiri yang mendapatkan keuntungan, atau biaya tersebut nilainya sama dengan keuntungan sehingga ia sendiri yang hanya mendapatkan keuntungan.

Realitas atau kesepakatan itu tidak dibenarkan dalam syariah.

(2) Dengan disepakati, biaya operasional di lokasi ataupun di luar itu boleh mengambil dari modal usaha. Ulama mazhab Hanbali yang berpendapat bahwa apabila mudharib (pengelola) memberikan syarat kepada pemilik modal agar biaya tersebut digunakan untuk aktivitas di atas (baik pada saat mereka tinggal di daerahnya ataupun dalam perjalanan).

Karena sesungguhnya biaya usaha saat di lokasi (hadhar) yang dikelola di tempat tinggalnya itu salah satu kondisi mudharabah, maka boleh mensyaratkan biaya operasional saat ia mukim, seperti halnya dalam kondisi safar.

Dan karena pengelola itu telah memberikan syarat ihwal biaya sebagai kompensasi atas kinerjanya. (Al-Mughni li Ibnu Qudamah 5/5).

(3) Biaya operasional di lokasi ataupun di luar itu boleh mengambil dari modal usaha dengan syarat besarannya proporsional. Ulama Hanafiyah dan ulama Malikiyah berpendapat saat pengelola melakukan perjalanan dan menggunakan dana mudharabah (ia melakukan perjalanan terkait dengan bisnisnya ke tempat lain), ia boleh membiayai aktivitas tersebut dari dana mudharabah dengan kadar yang lazim (tanpa berlebihan).

Karena perjalanan yang dilakukannya (yang menggunakan biaya atau dana mudharabah) itu bukan aktivitas sosial, tetapi aktivitas usaha. Jadi biaya yang diperuntukkan perjalanan tersebut wajib diambil dari biaya operasional mudharabah. (Bada’i Ash-Shana’i li al-Kasani 6/105, Ad-Dusuqi ‘ala Asy-Syarhu al-Kabair 3/474).

(4) Biaya operasional di lokasi ataupun di luar itu wajib mengambil dari modal usaha saat disyaratkan oleh para pihak. Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat,

"Dalam kondisi safar, biaya yang timbul itu tidak wajib dipenuhi dari biaya mudharabah (usaha) kecuali ada syarat yang disepakati para pihak. Karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan. Jadi, ia tidak berhak mendapatkan kompensasi lain kecuali disyaratkan oleh pemilik modal." (Mughni al-Muhtaj Li asy-Syarbini 2/7, Al-Muhadzab li Asy-Syirazi 1/387, Kasyafu al-Qina’ li Al-Buhuti 2/265).

Setelah memaparkan peta perbedaan di atas, Prof Dr Rosyad Hasan Khalil memilih pendapat ulama Hanbali yang menjelaskan bahwa pengelola (mudharib) tidak berhak mendapatkan biaya saat aktivitas tersebut dilakukan mukim.

Berbeda halnya jika itu dilakukan pada saat safar (perjalanan) kecuali dengan syarat yang disepakati oleh keduanya. Jadi, jika pemilik modal setuju dengan syarat tersebut, maka mudharib boleh mengambil atau mengalokasikan biaya tersebut dari dana usaha.

Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"...dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi).

Hadis ini memberikan makna bahwa apabila kedua belah pihak menyetujui syarat-syarat tertentu (seperti syarat biaya itu diambil dari dana usaha), maka para pihak harus memenuhinya selama syarat tersebut tidak menyalahi kaidah-kaidah syariah.

Pilihan pendapat fikih itu menjadi referensi fatwa atau opini syariah atau putusan lembaga atau entitas berikut:

(1) Standar Syariah Internasional AAOIFI. Sebagaimana dijelaskan,

للمضارب النفقة في السفر الصالح المضاربة بحسب العرف.

“Pengelola (mudharib) berhak untuk mendapatkan biaya saat melakukan perjalanan untuk kepentingan usaha mudharabah merujuk pada kelaziman (‘urf).” (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 13 tentang Mudharabah).

(2) Dallah Baraka Jeddah. Sebagaimana dijelaskan dalam opini syariah DPS-nya,

"Pada prinsipnya, biaya yang terkait dengan proses investasi di perbankan syariah itu merujuk kepada biaya-biaya yang lazim.

Sedangkan biaya-biaya administrasi umum atau pengelolaan umum agar perbankan syariah bisa mengelola aktivitasnya yang beragam, maka itu menjadi kewajiban bank syariah. Karena biaya tersebut dipenuhi dari bagian keuntungannya yang ia dapatkan sebagai pengelola, di mana bank syariah itu menanggung sesuatu yang menjadi kewajibannya untuk ditunaikan.

Sedangkan biaya-biaya dari aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh mudharib, maka itu ditanggung dari akun investasi sesuai dengan penegasan para ahli fikih ihwal ketentuan mudharabah dan merujuk kepada pendapat para ahli saat ada ketidakjelasan terkait dengan jenis biaya-biaya yang harus ditanggung oleh mudharib atau ditanggung proses investasi sesuai dengan yang diputuskan oleh DPS di bank syariah terkait." (Fatawa Mudharabah, Dewan Pengawas Syariah Dallah Baraka, Jeddah halaman 61-63).

(3) Dewan Syariah Nasional MUI. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu fatwanya, "Biaya-biaya yang timbul karena kegiatan usaha atas nama entitas mudharabah, boleh dibebankan ke dalam entitas mudharabah." (Fatwa DSN MUI No 115/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia