• Sunrise At: 05:27
  • Sunset At: 17:46
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Serah Terima Merujuk pada Kebiasaan, Bagaimana Tuntunannya?

Bagaimana tuntunan syariah terkait serah terima dalam suatu transaksi?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Apakah benar bahwa yang menjadi rujukan dalam serah terima itu kebiasan atau tradisi (‘urf)? Bagaimana tuntunan syariah terkait serah terima dalam suatu transaksi? Mohon penjelasan Ustaz. --Irfan, Semarang

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, setiap transaksi seperti jual-beli itu menjadi sah dan sempurna apabila masing-masing pihak telah memiliki yang dibeli atau objek transaksinya.

Salah satu cirinya adalah objek jual-beli telah diserahterimakan, masing-masing telah memiliki apa yang menjadi maksudnya, di mana pembeli mendapatkan barang yang dibelinya dan penjual mendapatkan alat tukar atau uang yang menjadi keuntungannya.

Kedua, tetapi sesungguhnya mekanisme dan tata cara serah terima yang dimaksud itu rujukannya adalah kebiasaan para pelaku pasar selama kebiasaan tersebut berarti perpindahan kepemilikan.

Di mana masing-masing telah memiliki objek transaksinya serta seluruh konsekuensi hukum, hak, dan tanggung jawab para pihak itu disepakati dan ditunaikan.

Ketiga, rujukan untuk menentukan seperti apa teknis serah terima objek yang diperjualbelikan itu adalah tradisi yang berlaku. Alasan bahwa ‘urf atau tradisi itu menjadi referensi tata cara serah terima (qabdh), di antaranya adalah;

(1) Penjelasan ahli hadis terkait makna hadis Rasulullah SAW. Secara umum, para ahli hadis, seperti ash-Shan’ani dan Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa sesungguhnya beberapa model serah terima dalam hadis-hadis terkait; memindahkan barang yang dibeli ke tempat lain (hatta yahuzaha at-tujjaru ila rihalihim), ditakar (hatta yaktal), dikuasai (hatta yastaufi) itu bukan ketentuan hukum, tetapi hanya contoh dan kebiasaan para pelaku pasar saat itu.

Yang menjadi pesan hadis-hadis tersebut adalah objek jual-beli telah dimiliki oleh pembeli.

Ash-Shan’ani menjelaskan,

الحديث دليل على أنه لا يصح من المشترى أن يبيع ما اشتراه قبل أن يحوزه إلى رحله والظاهر أن المراد به القبض لكنه عبر عنه بما ذكر لما كان غالب قبض المشترى الحيازة إلى المكان الذي يختص به

"Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang pembeli tidak boleh menjual barang yang dibelinya sebelum ia menerima dan memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain dalam perjalanannya. Secara zahir, yang dimaksud adalah al-qabdh, tetapi dijelaskan dalam hadis dengan memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, karena itulah yang berlaku umum pada zamannya." (Ash-Shan’ani, Subul as-Salam 3/22).

Dan Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan,

أما ما عدا هذا مما لم يرد فيه نص فيرجع فيه إلى عرف الناس وما جرى عليه التعامل بينهم.

“Tetapi jika yang diperjualbelikan selain barang-barang tersebut yang tidak ada dalam nash, maka serah terimanya dikembalikan kepada kebiasaan mereka bertransaksi.” (Fiqh Sunnah, 3/97).

(2) Penjelasan para ahli fikih terkait makna hadis Rasulullah SAW. Al-Khathib mengatakan,

لِأَنَّ الشَّارِعَ أَطْلَقَ الْقَبْضَ وَ أَنَاطَ بِهِ أَحْكَامًا، وَلَمْ يُبَيِّنْهُ وَلَا حَدَّ لَهُ فِي الُّلغَةِ، فَرَجَعَ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ.

"Ketika syariat Islam ini mewajibkan serah terima dalam setiap transaksi itu tanpa menjelaskan mekanismenya, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi pelaku pasar." (Mughni al-Muhtaj, 2/72).

Dan Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ حَدٌّ فِي الُّلغَةِ وَ لَا فِي الشَّرْعِ، فَالْمَرْ جَعُ فِيْهِ إِلَى عُرْفِ النَّاسِ.

"Setiap ketentuan yang tidak ada batasannya baik dalam bahasa maupun syara', maka yang menjadi rujukan adalah tradisi setempat." (Majmu’ Fatawa. Ibnu Taimiyah, 3/272).

Dan Al-Khathabi mengatakan,

القَبْضُ تَخْتَلِفُ فِي الْأَشْيَاءِ حَسْبَ إِخْتِلَافِهَا فِي نَفْسِهَا، وَحَسْبَ اخْتِلَافِ عَادَاتِ النَّاسِ فِيْهَا.

"Teknis dan mekanisme serah terima itu berbeda-beda sesuai tradisi masyarakat setempat." (Ma’alim as-Sunan lil Khathabi, 3/136).

Penjelasan Al-Khathib, Ibnu Taimiyah, dan Al-Khathabi tersebut memaknai serah terima (qabudh) dalam hadis-hadis Rasulullah SAW terkait.

Di antaranya, "Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya kembali hingga dia selesai menerimanya.” (HR Jamaah kecuali at-Tirmidzi).

(3) Ijma'. Maksudnya, ijma’ (konsensus para ahli fikih) terkait. Sebagaimana dijelaskan dalam standar AAOIFI No 18 tentang Al-Qabdh:

مستند اعتبار العرف في تحقق القبض إجماع الفقهاء على ذلك.

“Alasan bahwa ‘urf atau tradisi itu menjadi referensi tata cara serah terima (qabdh) itu adalah ijma’ (konsensus para ahli fikih) terkait hal tersebut."

(4) Sebagaimana Standar AAOIFI No 18 tentang Al-Qabdh,

الأصل في تحديد كيفية قبض الأشياء العرف، ولهذا اختلف القبض في الأشياء بحسب اختلافها في نفسها، وبحسب اختلاف أعراف الناس فيها. يتحقق القبض الحقيقي في العقار بالتخلية والتمكين من التصرف.

"Kaidah dasarnya, rujukan untuk menentukan seperti apa teknis serah terima objek yang diperjualbelikan itu adalah tradisi yang berlaku (al-‘urf ash-shahih). Oleh karena ‘urf yang jadi referensi, maka teknisnya akan berbeda-beda bergantung kebiasaan masyarakat atau pasar setempat. Serah terima fisik dalam rumah yang diperjualbelikan bisa direalisasikan dengan rumah tersebut dikosongkan hingga pembeli bisa memanfaatkannya (at-takhliyah wa at-tamkin min at-tasharruf)."

Salah satu contohnya adalah jika rumah yang diperjualbelikan, maka ciri bahwa rumah tersebut telah berpindah kepemilikan kepada pembeli saat penjual mengosongkan rumah dan memungkinkan pembeli untuk mendiaminya (at-takhliyah) itu adalah ‘urf (kebiasaan) masyarakat pada saat itu. Inilah pandangan mayoritas ahli fikih (ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan selainnya). (Lihat Rad al-Muhtar 4/561, Raudhatu ath-Thalibin 3/515, Al-Mughni 4/333, dan Al-Muhalla 8/89).

Kemudian ulama mazhab Hanafi mencatat dengan tegas bahwa apabila rumah tersebut memiliki kunci, maka serah terima cukup dilakukan dengan penjual menyerahkan kunci kepada pembeli, karena dengannya pembeli bisa membuka dan memanfaatkan rumah tersebut. (Lihat Rad al-Muhtar 4/561 dan Al-Fatawa al-Hindiyah 3/16).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia