Akad dalam Transaksi di Bursa Komoditas
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Terkait perdagangan komoditas di bursa, apa akad-akad yang diberlakukan dalam transaksi di bursa komoditas? Bagaimana ketentuan dan tuntunan seputar akad-akad tersebut dalam fikih dan fatwa? Mohon penjelasan Ustaz. -- Irsyad, Bekasi
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Kesimpulannya, konsumen komoditas punya kebutuhan akan dana tunai. Kemudian dirangkai transaksi tawarruq yang melibatkan tiga pihak. Karena peserta komersial tidak memiliki komoditas, maka ia membeli komoditas terlebih dahulu dengan akad bai’ (jual beli tunai). Konsumen membeli secara tidak tunai dengan akad murabahah, dan ia menjualnya kembali kepada peserta pedagang komoditas secara tunai sehingga mendapatkan dana tunai sesuai targetnya. Selanjutnya ia membayar kewajibannya kepada peserta komersial.
Detailnya bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, akad dalam transaksi di bursa komoditas. Dalam fatwa DSN MUI No 82/DSN-MUI/VIII/2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi itu tidak dijelaskan secara spesifik ihwal akad apa saja yang diberlakukan dalam rangkaian transaksi di bursa komoditas.
Tetapi jika menelaah substansi transaksi tersebut, maka bisa disimpulkan akad yang diberlakukan adalah sebagai berikut
(1) Akad tawarruq. Jika dalam rangkaian atau flow transaksi di bursa komoditas itu memiliki akad inti, maka akad inti tersebut adalah tawarruq.
Karena sesungguhnya tujuan pembeli atau konsumen komoditas itu bukan komoditas tersebut, tetapi dana tunai (hasil penjualan komoditas yang dibelinya).
Hal ini sesuai dengan karakteristik tawarruq, bahwa dalam tawarruq munadzam tujuan pembeli adalah uang bukan barang (sedangkan barang hanya simbolik), pihak pembeli disyaratkan menjual kembali barang yang dibelinya kepada penjual (pihak ketiga), melibatkan tiga pihak, dan harga dalam transaksi kedua lebih murah.
Juga dikategorikan tawarruq karena transaksi jual beli dalam bursa komoditas tersebut melibatkan tiga pihak inti, yaitu konsumen komoditas, peserta komersial, dan peserta pedagang komoditas.
(2) Akad murabahah. Transaksi jual beli antara peserta komersial dengan konsumen komoditas itu akad murabahah karena jual belinya dengan harga yang disampaikan kepada pembeli.
Secara konsep akad, peserta komersial dapat saja menjual komoditas kepada konsumen komoditas dengan akad al bai’ bukan murabahah, tetapi karena peserta komersial tidak memiliki komoditas sehingga harus membeli terlebih dahulu, dan itu bagian dari sistem di bursa, maka akad murabahah menjadi pilihan.
Fatwa DSN menjelaskan, “Peserta Komersial menjual komoditi kepada Konsumen Komoditi dengan akad murabahah dan diikuti dengan penyerahan dokumen kepemilikan.” (Fatwa DSN MUI No 82).
(3) Jual beli (al-bai’) dan janji jual beli (wa’d). Karena peserta komersial tidak memiliki komoditas, maka ia membeli komoditas terlebih dahulu dengan akad bai’ (jual beli tunai). Didahului dengan konsumen memesan dan janji beli dan jual.
(4) Akad wakalah. Karena seluruh transaksi dilakukan melalui agen, maka transaksi tawarruq, bai’,bdan murabahah tersebut menggunakan akad wakalah.
Sebagaimana Fatwa DSN MUI, “Penjual maupun pembeli komoditi di bursa boleh menggunakan jasa agen dengan akad wakalah. Dalam hal kedudukan agen penjual sebagai wakil penjual, agen penjual tidak boleh menjanjikan keuntungan kepada penjual. Dalam hal kedudukan agen penjual sebagai pembeli, agen patuh pada ketentuan perdagangan, dan terikat pada hak dan kewajiban pembeli.” (Fatwa DSN MUI No 82/DSN-MUI/VIII/2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi).
Wakalah yang dimaksud berarti saat peserta komersial membeli komoditas itu dilakukan dengan akad wakalah kepada agen. Begitu pula pada saat peserta komersial menjual kepada konsumen itu dilakukan akad wakalah kepada agen. Begitu juga pada saat konsumen komoditas menjual kembali komoditas yang dibelinya dari peserta komersial kepada pedagang komoditas itu dilakukan dengan akad wakalah melalui agen. Ketentuan ihwal akad wakalah itu merujuk kepada fatwa-fatwa DSN terkait seperti Fatwa DSN MUI No 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah dan Fatwa DSN MUI No 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Wakalah bi Al-Ujrah.
Kedua, tawarruq dalam fikih dan fatwa. Istilah tawarruq itu menjadi populer dalam kitab-kitab mazhab Hanbali. Sementara mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i menggunakan istilah buyu’ al-ajal. (Mukhtar Salam, at-Tawarruq al-Mashrifi, hal 203).
Menurut mayoritas ulama, seperti embaga fikih Islam Rabithah ‘Alam Islami, Standar AAOIFI, Prof Rafiq Yunus al-Mishri, Prof ad-Dharir, Mukhtar Salam, tawarruq mashrafi dibolehkan dengan batasan-batasan tertentu.
Misalnya Standar Syariah Internasional AAOIFI menegaskan, "Tawarruq bukan produk investasi atau pembiayaan, karenanya LKS tidak dibolehkan menjadikan tawarruq untuk keperluan mobilisasi dana sebagai alternatif dari produk mudharabah, wakalah bil istitsmar, menerbitkan sukuk, dan lain-lain. LKS hanya boleh menggunakan tawarruq karena al-hajah, di antaranya menutupi kekurangan likuiditas dan meminimalisir risiko likuiditas lembaga-lembaga keuangan syariah”. (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 30 tentang Tawarruq).
Sesuai fatwa DSN MUI No 82/DSN-MUI/VIII/2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi, rangkaian akad dalam aktivitas di bursa, termasuk akad tawarruq itu dibolehkan tetapi dengan ketentuan dan syarat.
Ketiga, aspek syariah dalam bursa komoditas. Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan terkait dengan kepatuhan syariah transaksi yang terjadi di bursa komoditas.
(1) Aktivitas transaksi dan produk di bursa komoditas syariah mendapatkan persetujuan dari Dewan Syariah Nasional MUI.
(2) Memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi dan memastikan aktivitas di bursa patuh syariah.
(3) Produk dan bursa komoditas tersebut berizin dari regulator, diatur dan diawasi oleh otoritas sebagai bursa komoditas yang mengelola produk-produk yang sesuai dengan syariah.
(4) Sistem dalam bursa tersebut telah mengakomodasi keterpenuhan prinsip-prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa DSN MUI terkait.
Wallahu a’lam.
