• Sunrise At: 05:27
  • Sunset At: 17:46
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Aktivitas Switching, Bagaimana Tuntutan Syariahnya?

Aktivitas inti perusahaan switching itu halal atau tidak?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr wb.

Ustaz, apakah core aktivitas perusahaan switching itu halal atau tidak, ya? Karena kan salah satu tugasnya melayani sistem penghubung bagi bank untuk melakukan transfer, baik bank syariah maupun konvensional. -- Wawan, Jakarta

 

Wa’alaikumussalam wr wb.

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, latar belakang dan ilustrasi. Saat ini, transaksi seperti tarik tunai, transfer, dan cek saldo itu tidak serta-merta bisa dilakukan oleh seseorang atau pihak dengan perusahaan langsung, tetapi harus ada perusahaan sebagai provider dan agregator yang menjembataninya.

Jadi, perusahaan switching itu adalah perusahaan yang menjembatani antara seseorang dan perusahaan dalam tarik tunai, transfer, dan cek saldo. Di antara ilustrasinya adalah antara bandara dan pesawat. Saat penumpang ingin naik ke pesawat, disediakan jembatan untuk masuk ke pintu pesawat. Nah, jembatan itulah yang dimaksud dengan provider yang menjembatani transaksi antarlembaga keuangan.

Kedua, di antara contohnya, saya mau belanja di e-commerce itu pilih barang. Kemudian, saat memilih alat bayar, saya pilih debit bank syariah. Maka, itu tidak serta-merta itu bisa dieksekusi, kecuali ada provider yang menjembatani memindahkan data keuangan.

Jadi, intinya, switching adalah memindahkan data keuangan dan menjembatani sehingga transfer, cek saldo, dan tarik tunai bisa dilakukan.

Contoh lain, para orang tua dengan pesantren, kalau mereka ingin bayar SPP atau bayar biaya lainnya, ketimbang dicatat manual, maka perlu ada provider yang membantu menghubungkan dan merapikan pencatatan dalam sebuah sistem. Pesantren pun terbantu, catatannya rapi, dan tervalidasi bisa dipertanggungjawabkan.

Ketiga, ketentuan hukum. Pada prinsipnya aktivitas usaha switching itu dibolehkan dengan ketentuan berikut.

(1) Aktivitas switching tidak boleh bermitra dengan lembaga keuangan konvensional. Seperti bank konvensional, asuransi konvensional, dan BPR konvensional. Termasuk perusahaan dengan core aktivitas yang tidak halal.

(2) Layanan atau kebutuhan (baik transfer atau berbelanja) hanya digunakan untuk kebutuhan yang halal. Misalnya, perusahaan ini memberikan edukasi kepada para mitra yang disyaratkan dalam MoU atau sejenisnya.

Intinya, perusahaan switching ini telah melakukan usaha untuk memitigasi penyimpangan kepatuhan syariah terkait dengan peruntukan switching ini.

Dari sisi legalitas, teknisnya, setiap perusahaan switching harus berizin sebagai perusahaan yang dikelola dengan core aktivitas switching dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, serta mendapatkan persetujuan atau sertifikat syariah dari Dewan Syariah Nasional MUI.

Keempat, tuntunan dan dalil, sebagai berikut. (1) Sesungguhnya, isu syariah terletak pada dua hal: (a) Layanan switching diperuntukkan bagi lembaga apa? Core aktivitasnya apa? Lembaga yang menjadi mitra switching ini apakah syariah atau konvensional?

(b) Layanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan apa? Maksudnya, jika aktivitas switching yang menjembatani transaksi digunakan untuk kebutuhan apa?

(2) Pengalihan data itu dilakukan oleh sistem IT dan itu alat atau fasilitas yang netral, tetapi perlu dirangkai dengan akad hingga terbentuk hubungan hukum antara para pihak dan dihindarkan dari aktivitas yang terlarang menurut syariah.

Jadi, switching itu adalah alat yang netral sama dengan fitur dan fasilitas netral lainnya seperti teknologi informasi dan lainnya. Ia menjadi boleh atau tidak boleh, terlarang atau tidak, tergantung digunakan untuk apa, dalam momentum apa, dan dengan cara apa.

(3) Selanjutnya, peruntukan switching harus dipastikan bukan lembaga keuangan konvensional atau perusahaan dengan core aktivitas yang tidak halal.

Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada unsur kontribusi terhadap penyimpangan atau maksiat sebagaimana dijelaskan dalam nash dan penjelasan para ahli fikih.

Di antaranya sebagaimana penjelasan dalam Faidh al-Qadir,‎ "Menurut sebagian ulama mereka (yang bertransaksi, mencatat, dan saksi) itu aktivitas yang terlarang karena setiap perjanjian ribawi itu tidak mungkin wujud kecuali dengan kontribusi dan keterlibatan para pihak tersebut" (Faidh al-Qadir 1/54).

Dan sebagaimana penjelasan Zakariya al-Anshari, "Saat seseorang menjual anggur kepada pihak lain yang diketahui akan diproduksi menjadi khamar yang memabukkan, maka itu terlarang …” (Asna al-Mathalib fi Syarhi Raudha at-Thalib 2/41).

Dan sebagaimana penjelasan al-Buhuti, "Menjual sesuatu yang diperuntukkan bagi aktivitas yang haram (seperti anggur yang akan diproduksi menjadi khamr) itu tidak sah” (Kassyaf al-Qina’ 3/181).

Dan sebagaimana penjelasan beberapa ahli syariah:

Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah yang dilakukan aktivitas maksiat (‘ain)-nya, seperti menjual minuman keras. (Lihat: Khalashatu al-Kalami fii Masalati al-I’anati ‘ala al-Harami fii al-Mazhabi al-Hanafi, Shalah Abu al-Haj, hlm 67).

Kesimpulan dari penjelasan tersebut adalah yang dilakukan bukan aktivitas maksiat ('ain)-nya, tetapi aktivitas perantara (‘arid) seperti merenovasi gereja. (Lihat: Khalashatu al-Kalami fii Masalati al-I’anati ‘ala al-Harami fii al-Mazhabi al-Hanafi, Shalah Abu al-Haj, hlm 67).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia