Jastip dengan Persentase dan Ditalangi
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb.
Terkait jasa titip atau jastip, apakah boleh menentukan biaya jastip berupa persentase tertentu dari harga barang? Jika harga barang ditalangi terlebih dahulu oleh penyedia jastip, apakah itu juga dibolehkan? Bagaimana ketentuan syariahnya? Mohon penjelasan ustadz. -- Firda, Bekasi
Wa’alaikumussalam wr wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, biaya jastip dalam bentuk persentase. Untuk memudahkan gambarannya bisa diilustrasikan sebagai berikut.
Si A sebagai penyedia jasa titip itu mengenakan tarif 5 persen dari harga barang. Misalnya harga barang Rp 100 juta, maka tarif jastipnya 5 persen dari Rp 100 juta.
Fee dalam bentuk persentase dibolehkan selama jelas berapa biayanya. Jadi, misalnya 1 persen dari harga jual, maka harga jual harus sudah diketahui saat perjanjian jastip agar diketahui besaran biaya atau tarif jastipnya.
Kesimpulan tersebut sebagaimana Fatwa DSN MUI, "Kuantitas dan/atau kualitas ujrah harus jelas, baik berupa angka nominal, persentase tertentu, atau rumus yang disepakati dan diketahui oleh para pihak yang melakukan akad” (Fatwa DSN MUI No 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah).
Sebagaimana dijelaskan dalam Standar Syariah Internasional AAOIFI. "Fee untuk masa mendatang itu boleh didasarkan pada indeks yang definitif. Tetapi indeks tersebut harus didasarkan pada standar yang ma’lum dan tidak ada perdebatan, karena itu menjadi fee atas masa-masa sesuai kesepakatan dan dibuat batasan tertinggi dan batasan terendah" (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 9 tentang Ijarah).
Kedua, harga barang ditalangi oleh penerima jastip. Untuk memudahkan gambarannya bisa diilustrasikan sebagai berikut.
Misalnya si A minta dibelikan kurma satu dus kepada si B (penyedia jasa titip) dengan biaya titip per 1 kg Rp 10 ribu. Tetapi, si A minta ditalangi dulu oleh penyedia jasa titip sehingga si B mengeluarkan uang tunai untuk membeli kurma. Setelah dibeli dan dikirim, si A sebagai penitip akan mentransfer biaya yang dimaksud.
Harga barang yang menjadi kewajiban penitip dan pembeli itu boleh ditalangi penerima jasa titip. Maksudnya, penitip membeli dengan menggunakan dana penerima jasa titip (qardh).
Talangan tersebut dibolehkan dan bukan bagian dari riba selama talangan dibuatkan dalam perjanjian terpisah dari jastip, dan pendapatan penerima jasa titip itu dari jasa bukan dari talangan, talangan tetap menggunakan qard hasan.
Dalam Fatwa DSN MUI dijelaskan bahwa fee itu boleh dibayar secara tangguh, “Ujrah boleh dibayar secara tunai, bertahap/angsur, dan tangguh berdasarkan kesepakatan sesuai dengan syariah dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.” (Fatwa DSN MUI No 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah).
Harga barang boleh ditalangi oleh penyedia jastip dengan syarat fee penyedia jastip tidak boleh bersumber dari kredit tersebut dan dibuat akad terpisah.
Hal itu karena kedua perjanjian tersebut diberlakukan secara terpisah dan selama keduanya memenuhi rukun dan akadnya secara terpisah, maka tidak termasuk dalam kategori dua akad dalam satu akad atau larangan penggabungan antara jual beli dan qard.
Ketiga, fee jastip dalam bentuk tearing. Untuk memudahkan gambarannya bisa diilustrasikan sebagai berikut.
Si A sebagai penyedia jasa titip itu mengumumkan bahwa biaya titipnya itu dalam bentuk tearing. Misalnya untuk titipan dari harga barang Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu, maka biaya titipnya itu Rp 10 ribu.
Sedangkan, dari harga barang Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu, maka biaya titipnya Rp 20 ribu. Fee jastip ini boleh berbentuk tearing selama besarannya jelas (terhindar dari gharar).
Oleh karena itu, hal lain yang terkait juga harus jelas. Misalnya untuk barang yang dibeli dari harga Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta, maka biaya jastipnya 10 ribu, sehingga tearing-nya jelas.
Karena tidak ada nash atau konsensus ulama yang melarang, maka ketentuan hukumnya dikembalikan kepada kaidah dasar, yaitu kaidah ushul, "Pada dasarnya, segala sesuatu (dalam muamalah) boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” (al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, hlm 133).
Keempat, fee jastip di-blended dengan harga beli. Untuk memudahkan gambarannya bisa diilustrasikan sebagai berikut.
Si A sebagai penyedia jasa titip itu pergi ke Hong Kong, kemudian menawarkan jasa titip siapa yang ingin dibelikan barang-barang khas Hong Kong di grup WA perumahan. Pada saat di pasar, si A penyedia jasa titip memfoto barang, kemudian dikirim ke WA grup, tetapi dengan harga titip yang sudah di-blended dengan harga beli.
Walaupun namanya jastip, tetapi secara substansi ini bukan jastip karena tidak menggunakan skema ijarah atau wakalah bil ujrah. Karena dengan akad tersebut, maka pendapatan penerima jastip itu fee yang harus ditentukan di perjanjian jastip dan terpisah dari harga jual barang yang dipesan atau dititip.
Oleh karena itu, substansi jastip ini harus diubah menjadi dropship, di mana penyedia jasa titip menjadi penjual. Bedanya, dalam jastip, penyedia jasa hanya mendapat fee dan tidak menanggung risiko. Sedangkan, penjual karena ia bebas menentukan harga jual barang maka ia bertanggung jawab terhadap barang tersebut hingga diterima oleh pembeli.
Begitu pula akad yang digunakan bukan lagi ijarah atau wakalah bil ujrah, tetapi akadnya akad jual beli (al-bai’). Kesimpulan tersebut sebagaimana Fatwa DSN MUI No 145/DSN-MUI/XII/2021 tentang Dropship Berdasarkan Prinsip Syariah dan Fatwa DSN MUI No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli.
Wallahu a’lam.