Tukar Recehan, dan Pilihan yang Halal
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr. wb.
Banyak pemudik yang membutuhkan uang recehan. Tidak sedikit menukar ke penjual langsung atau via broker dengan fee sehingga ada selisih sebagai pendapatan penjual. Bagaimana ketentuannya menurut syariah? Mohon penjelasan Ustaz. -- Aslam, Surabaya
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Umumnya, pada saat masyarakat mudik atau pulang kampung, untuk menemui kerabat, mereka harus berbekal uang recehan. Seperti dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan sebagai oleh-oleh untuk diberikan kepada keponakan dan kerabat.
Walhasil, mereka butuh menukar. Misalnya, seratus ribu dengan uang dua ribuan.
Biasanya, jika ada waktu untuk menukar di bank, maka bank bisa memberikan recehan tanpa imbalan. Menukar Rp 100.000 (1 lembar), maka akan dibayar dengan Rp 100.000 dua ribuan recehan. Utuh tanpa lebihan, bank sebagai penjual tidak mengambil selisih sebagai keuntungan.
Tetapi tidak sedikit yang menukar selain di bank, seperti petugas pom bensin atau penjual lainnya. Maka tidak ada yang gratis, tapi penjual minta imbalan sebagai keuntungannya.
Tetapi tidak sedikit yang menukar selain di bank, seperti petugas pom bensin atau penjual lainnya. Maka tidak ada yang gratis, tapi penjual minta imbalan sebagai keuntungannya.
Misalnya, mereka menjual Rp 100.000, maka mereka harus mendapatkan lebih dari Rp 100.000, harus ada kelebihan sebagai keuntungan mereka jadi penjual. Misalnya, Rp 100.000 ditukar dengan Rp 92.000.
Padahal dalam syariah, jika ada pertukaran mata uang sejenis, maka uang tersebut harus diserahterimakan secara cash atau tunai atau spot, dan dengan nilai yang sama.
Misalkan, transaksinya dilakukan pada jam 11.00, maka diserahterimakan pada 11.00 (spot) dengan nominal yang sama (diterima dengan nominal Rp 100.000).
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ubadah bin Shamit, "(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (HR Muslim).
Serta hadis yang diriwayatkan Umar al-Faruq, "(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai..." (HR Muslim).
Dari sisi fikih, kesimpulan bahwa kalau masyarakat menukar dengan recehan itu kudu tunai dan dengan nominal yang sama itu belum cukup.
Tetapi fikih ini harus memberikan pilihan dan alternatif yang halal dan mudah ditunaikan oleh masyarakat sebagaimana pesan syariah ini yang memberikan solusi.
Ingin memberikan perlindungan terhadap seluruh kebutuhan masyarakat (maqashid syariah) karena kebutuhannya nyata saat ini tidak sedikit masyarakat yang membutuhkan uang recehan, tetapi hanya berkesempatan menukar kepada penjual yang menetapkan fee. Di sisi lain, alternatif ini harus halal dan tidak boleh bertentangan dengan syariah.
Di antara alternatif dan pilihan yang halal adalah sebagai berikut.
Pertama, tukar melalui bank syariah atau lembaga keuangan syariah. Karena bank syariah atau lembaga keuangan syariah akan memberikan nominal yang sama secara spot tanpa selisih keuntungan (yadan bi yadin sawa’an bi sawa’in).
Kedua, tukar melalui broker penukaran uang recehan. Karena menurut fikih, pembeli boleh memberikan fee kepada broker sebagai wakil atas jasanya menukarkan uang pembeli kepada penjual.
Begitu pula, broker sebagai wakil tidak harus melakukan serah terima recehan kepada pembeli secara spot karena spot hanya diwajibkan antara penjual dan broker.
Dengan memenuhi ketentuan akad wakalah bil ujrah sebagaimana fatwa DSN MUI No 113/DSN-MUI/IX/2017.
Kesimpulannya, memberikan fee kepada broker atau penyedia jasa menukarkan uang kepada penjual itu halal, dibolehkan, dan bukan bagian riba dengan ketentuan berikut.
(1) Memastikan bahwa transaksinya tunai atau sesuai nominal dan merujuk pada akad ijarah.
(2) Ia benar menukarkan dari pihak lain, bukan ia menjual.
Ketiga, tukar melalui penjual langsung tanpa ada kesepakatan kelebihan, tetapi pembeli dapat memberikan imbalan tanpa diperjanjikan (laisa fi shulbi al-aqdi).
Contoh, si A pemilik Rp 100 ribu (1 lembar) butuh recehan dua ribuan. Kemudian saat mampir ke pom bensin tukar ke petugas, dan diterima Rp 100.000 pecahan dua ribuan (yang dikasih Rp 100.000 dan diterima Rp 100.000 recehan).
Kemudian si A ngasih uang Rp 10 ribu ke petugas sebagai hadiah tanpa diperjanjikan dalam penukaran tersebut (laisa fi shulbi al-aqdi). Uang Rp 10 ribu tersebut halal dan bukan riba karena tidak diperjanjikan dan bukan bagian dari akad.
Wallahu a’lam.
