Nitip Tukar Rupiah ke Riyal Diterima Nanti, Ribakah?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ada Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) difasilitasi oleh bank syariah untuk pertukaran uang rupiah ke riyal. Jamaah sudah transfer rupiah ke KBIHU, tapi jamaah menerima riyalnya diberikan oleh KBIHU saat jamaah datang manasik haji. Jadi, pertukaran tidak langsung menyerahkan rupiah menerima riyal, karena jarak dan kesempatan, riyal akan dibawakan KBIHU saat manasik. Apakah itu dibolehkan? --Muhamad, Makassar
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Kesimpulannya, nitip tukar rupiah ke riyal tersebut dibolehkan (bukan termasuk riba) selama ada serah terima antara KBIHU dan bank syariah. Misalnya, uangnya sudah dikreditkan atau ditransfer ke rekening masing-masing (al-qaid mashrifi).
Selanjutnya, tidak ada masalah (boleh) saat KBIHU menyerahkan uang riyal tidak tunai ke jamaah, karena para pihak dalam akad sharf adalah KBIHU dan bank syariah dan telah melakukan secara tunai (serah terima nonfisik).
Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, gambaran (tashawwur). Misalkan, hari Sabtu pekan ini pembimbing (KBIHU) menginfokan kepada jamaah yang mau tukar rupiah ke riyal. Kemudian jamaah transfer uang.
KBIHU pada hari Senin menukarkan uang tersebut ke bank syariah. Setelah itu, pembimbing (KBIHU) membawakan riyal tersebut pada manasik Sabtu pekan depan untuk diserahkan kepada jamaah.
Untuk lebih jelasnya akan diilustrasikan sebagai berikut. Pada Sabtu (20 Januari 2024), jamaah transfer rupiah ke KBIHU. Kemudian pada hari Senin (22 Januari 2024), KBIHU tukar uang rupiah ke riyal di bank syariah. Dan saat manasik di hari Sabtu (27 Januari) KBIHU menyerahkan riyal tersebut ke jamaah.
Kedua, jika menelaah transaksi penukaran uang sebagaimana dijelaskan dalam pertanyaan, maka ada dua transaksi.
(1) Kuasa (wakalah). Di mana jamaah memberikan kuasa kepada KBIHU untuk menukarkan. Meminta, menitip, atau memberikan kuasa ini dalam fikih namanya akad wakalah.
(2) Sharf (penukaran uang). Selanjutnya, pada saat KBIHU menukarkan uang (menukarkan rupiah ke riyal) di bank syariah, dalam fikih muamalah dinamakan akad sharf.
Ketiga, ketentuan hukum bisa dijelaskan dalam tiga poin berikut.
(1) Ketentuan akad sharf. Pada saat KBIHU itu menukarkan uang dengan bank syariah, maka penukaran itu harus tunai atau cash atau najiz. Referensi tukar menukar atau jual beli antar mata uang yang berbeda adalah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ubadah bin Shamit,
"(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, yang dimaksud emas dan perak dalam hadis tersebut adalah mata uang (atsman lil asyya wa qiyaman lilmutlafat) karena hadis ini hadir untuk merekam kondisi perniagaan pada zaman Rasulullah SAW di mana alat tukarnya adalah emas.
Berdasarkan hadis tersebut, apabila ada pertukaran antara mata uang riyal dan rupiah berarti penukaran antara mata uang yang berbeda, seperti halnya emas dan perak atau perak dan emas, maka kaidahnya harus tunai, tetapi tidak harus sama nilai dan nominalnya.
Diperbolehkan ada bisnis money changer atau pertukaran valuta asing dan penjual diperbolehkan mengambil margin dengan syarat dilakukan tunai.
Oleh karena itu, diperbolehkan ada bisnis money changer atau pertukaran valuta asing dan penjual diperbolehkan mengambil margin dengan syarat dilakukan tunai.
Sebagaimana Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, “Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut.
(a) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). (b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). (c) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
(d) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Transaksi spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.” (Fatwa DSN MUI No 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang [al-Sharf]).
(2) Ketentuan akad wakalah. Sedangkan permintaan, penitipan, dan pemberian kuasa dari pemilik uang ke KBIHU itu berlaku ketentuan umum dalam akad wakalah. Jika KBIHU menerima kuasa ini tanpa fee atau ujrah, maka akad wakalahnya adalah wakalah yang sah.
Ketentuan akad wakalah yang dimaksud sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI No 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, yaitu sebagai berikut,
(a) Hal-hal yang diwakilkan itu adalah kegiatan yang boleh dikuasakan, berupa pekerjaan atau perbuatan tertentu, diketahui secara jelas oleh wakil dan pihak yang mewakilkan, serta dapat dilaksanakan oleh wakil.
(b) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
Wakalah diperbolehkan sebagaimana hadis dari ‘Urwah al-Bariqi, “Nabi SAW memberikan satu dinar kepadanya (‘Urwah) untuk dibelikan seekor hewan kurban atau seekor kambing.
Dengan satu dinar itu ia membeli dua ekor kambing, lalu ia jual salah satu dari dua ekor kambing tersebut. Selanjutnya ia datang kepada Nabi, menyerahkan satu ekor kambing dan satu dinar. Nabi mendoakan agar ‘Urwah memperoleh barakah dalam jual belinya. Oleh karena itu, seandainya ‘Urwah membeli debu pun, tentu ia memperoleh keuntungan.” (HR al-Khamsah illa al-Nasa’i [Imam Hadis yang lima selain Nasa’i, yaitu al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan al-Tirmidzi]).
(3) Tunai dengan al-qaid al-mashrafi. Al-Qaid al-Mashrafi (dicatat dan dientri atau dikreditkan di rekening penerima kiriman). Kalau kita memiliki rekening di bank syariah, kemudian meminta bank syariah agar ada notikasi via SMS setiap kali ada kredit atau debit.
Pada saat, misalnya, orang tua mentransfer uang Rp 1 juta ke rekening kita, kemudian ada notifikasi tertulis kredit satu juta, maka itu yang dimaksud dengan al-qaid al-mashrafi.
Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI,
"Qabdh al-hukmi atau serah terima nonfisik itu bisa dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan si pemilik memberikan kewenangan kepada pihak lain untuk memanfaatkan barang tersebut walaupun fisik barangnya tidak diserahkan (at-takhliyah ma’a at-tamkin min at-tasharruf). Di antara bentuk qabd al-hukmi yang sesuai syariah dan ‘urf adalah:
Dengan cara al-qaid al-mashrifi sejumlah uang di rekening nasabah dalam kondisi berikut:
(a) Jika bank memasukkan sejumlah uang yang dititip di rekening nasabah secara langsung atau dengan transfer.
(b) Jika nasabah melakukan transaksi sharf secara tunai dengan bank syariah pada saat membeli mata uang tertentu dengan mata uang yang lain.
(c) Jika bank syariah atas permintaan nasabah mengambil atau menyisihkan sebagian dana dari rekening nasabah untuk digabung ke rekening lain dengan mata uang lain di bank syariah atau di bank lain untuk kepentingan nasabah atau pemanfaat dana, maka bank syariah harus memenuhi ketentuan akad sharf.” (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 1 tentang al-Mutajarah fii al-‘Umlat).
Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI yang menegaskan kebolehan memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menukar uang,
“(a) Boleh memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menjual mata uang tertentu, dengan transaksi secara tunai antara wakil dan penjual.
(b) Boleh memberikan kuasa untuk menjual mata uang tertentu tanpa memberikan kuasa dan serah terima dengan syarat pihak yang memberikan kuasa atau wakil lain melakukan serah terima sebelum pembeli dan penjual berpisah.
(c) Boleh memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menerima mata uang setelah akad sharf dengan syarat kedua pihak yang memberikan kuasa berpisah sebelum kedua wakil melakukan serah terima (qabdh).” (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 1 tentang al-Mutajarah fii al-‘Umlat).
Wallahu a’lam.
