Hasil Tani Dizakati Setelah Dikurangi Utang Keluarga?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Apakah hasil pertanian dikeluarkan zakatnya setelah dikurangi utang keluarga seperti kebutuhan pendidikan (SPP anak-anak) dan kesehatan? Atau hasil tani ditunaikan langsung dari bruto (tanpa dikurangi utang keluarga)? Mohon penjelasan Ustaz. --Yanto, Bogor
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Al-Qardhawi dalam Fikih Zakat-nya (1/394) menjelaskan perbedaan pendapat para ulama salaf dan khalaf ihwal utang yang digunakan untuk kebutuhan nafkah keluarga, apakah itu menjadi faktor pengurang hasil tani atau tidak.
Pendapat pertama, hasil tani ditunaikan zakatnya setelah dikurangi utang atas biaya keluarga.
Di antara ulama yang berpendapat ini adalah Ibnu Umar, Sufyan Ats-Tsauri (sebagaimana diriwayatkan oleh Yahya bin Adam), ‘Atho dan Thawus (sebagaimana pendapat ini diriwayatkan dari mereka berdua), dan Makhul.
Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Abbas berpendapat bahwa hasil tani langsung dizakati tanpa dikurangi utang biaya keluarga.
Abu Ubaid melansir pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tersebut,
روى أبو عبيد في الأموال بسنده عن جابر بن زيد، قال في الرجل يستدين فينفق على أهله وأرضه، قال : قال ابن عباس : يقضى ما أنفق على أرضه، وقال ابن عمر : يقضى ما أنفق على أرضه وأهله.
"Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwal meriwayatkan dari Jabir bin Ziad, ia berkata ihwal seseorang yang meminjam untuk membiaya kebutuhan keluarga dan pertaniannya. Ia berkata, Ibnu Abbas menjelaskan, ia melunasi utang yang diperuntukkan bagi pertaniannya dari hasil pertanian tersebut. Ibnu Umar berkata, ia melunasi biaya untuk pertanian dan keluarganya dari hasil pertanian.” (al-Qardhawi dalam Fikih Zakatnya [1/391] menukil dari Abu Ubaid dalam al-Amwal, hal 509).
Yahya bin Adam menjelaskan,
ورواه يحيى بن آدم في الخراج عنه قال : قال ابن عمر : يبدأ بما استقرض، فيقضيه ويزكي ما بقي، وقال : قال ابن عباس : يقضي ما أنفق على الثمرة ثم يزكي ما بقي.
"Yahya bin Adam meriwayatkan dalam Al-Kharaj, darinya dengan mengatakan, Ibnu Umar menjelaskan, ia memulai dari pinjaman, di mana ia melunasinya dari hasil tani kemudian ditunaikan zakat dari sisanya. Ia mengatakan, Ibnu Abbas menjelaskan, ia melunasi biaya yang digunakan untuk perkebunan, kemudian ia menunaikan kewajiban zakat dari sisanya.” (al-Qardhawi dalam Fikih Zakatnya [1/391] menukil dari Yahya bin Adam dalam al-Kharraj, hal 162).
Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari Makhul, ia menjelaskan terkait dengan petani yang berutang: hasil tani tidak dikenakan zakat hingga utangnya tertunaikan. Setelah itu, sisanya dikenakan zakat jika memenuhi kriteria wajib zakat.
Sedangkan ada dua riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad bin Hanbal,
"Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, ada dua riwayat beliau. Dalam salah satu riwayatnya berpendapat, 'Siapa yang meminjam untuk kebutuhan biaya pertaniannya dan ia juga meminjam untuk kebutuhan keuangan keluarganya, maka yang diperhitungkan adalah biaya untuk pertaniannya. Sedangkan biaya untuk keluarga tidak dibebankan pada hasil pertaniannya. Karena biaya pertanian itu bagian dari mu’natu az-zar’i (biaya pertanian).'
Riwayat Imam Ahmad yang kedua adalah semua utang tersebut (utang pertanian dan utang keluarga) dihitung atau dialokasikan dari hasil pertanian. Riwayat yang pertama inilah yang sama dengan pendapat Ibnu Abbas. Sedangkan riwayat kedua itu sama dengan pendapat Ibnu Umar.”
قال في المغني : فعلى هذه الرواية يحسب كل دين عليه، ثم يخرج العشر مما بقي إن بلغ نصاباً، وإن لم يبلغ نصاباً فلا عشر فيه،...
"Ia mengatakan dalam kitab al-Mughni, 'Menurut riwayat ini, maka seluruh utang dibebankan kepada hasil pertanian, kemudian setelahnya ditunaikan 10 persen dari hasil pertanian jika mencapai nishab. Tetapi jika tidak mencapai nishab, maka tidak ada zakat..."
Abu ‘Ubaid memilih pendapat Ibnu Umar dan para ulama yang sependapat dengannya terkait bahwa seluruh utang itu dibebankan kepada hasil pertanian dan zakat dibebankan kepada sisanya selama utangnya itu utang yang sah.
Ia mengatakan, "Jika utang itu sah, maka itu dibebankan kepada pemilik pertanian, dan tidak ada kewajiban zakat baginya karena ada utang yang harus diselesaikannya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Umar, Thawus, ‘Atho, dan Makhul."
Menurut saya, bagi para wajib zakat seperti para petani memilih untuk menunaikan zakatnya tanpa harus dikurangi kebutuhan keluarganya itu lebih berkah dan lebih maslahat sebagaimana pendapat Ibnu Abbas.
Lebih berkah bagi para petani wajib zakat dan lebih maslahat bagi para dhuafa atau penerima donasi tersebut.
Wallahu a’lam.
