• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Investasi Emas di Bank Syariah

 

Telah terbit di Republika.id 28 Februari 2025

Oleh : Dr. Oni Sahroni, MA
(Pengasuh Konsultasi Syariah di Muamalah Daily dan Republika.id)

Assalamu’alaikum wr. wb.
Baru saja diresmikan Bank Emas atau Bullion Bank yang mengelola emas seperti bank mengelola uang. Emas bisa disimpan, ditransaksikan, bahkan dijadikan jaminan pinjaman tanpa harus berbentuk fisik. Apa saja produknya? Bagaimana ketentuan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Syahril, Bekasi

Wa’alaikumussalam wr. wb.
Di antara produk yang termasuk kategori investasi emas di bank syariah adalah sebagai berikut.

Pertama, beli kemudian titip emas. Nasabah beli emas dari bank syariah secara online (digital), selajutnya menitipkanya di bank syariah dengan biaya penitipan.

Sewaktu-waktu, nasabah juga bisa menjualnya kepada bank syariah.

Produk beli emas kemudian titip ini dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

(1) Diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah DPS dan otoritas. (2) Memiliki sebelum menjual; bank syariah sebagai penjual memiliki emas terlebih dahulu sebelum menjual ke nasabah.

(3) Emasnya harus wujud (tidak fiktif). (4) Sebagai titipan; bank (sebagai penerima titipan) menjaga amanah dan tidak melakukan transaksi perpindahan kepemilikan kepada pihak lain karena emas tersebut milik nasabah (wadiah yad amanah).

(5) Jika satu lempengan emas dimiliki oleh beberapa nasabah, maka kesepakatannya diperjelas apakah setiap nasabah memiliki bagian-bagian tertentu dari emas sesuai fisiknya atau berdasarkan porsi.

Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI No 57 tentang Emas,

يَجُوْزُ تَمَلُّكُ الذَّهَبِ عَلَى الشُّيُوْعِ بِحَيْثُ يَتَمَلَّكُ كُلُّ شَرِيْكٍ حِصَّةً شَائِعَةً مُحَدَّدَةً النِّسْبَةِ فِي كِمِّيَّةٍ كُلِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ...

"Emas boleh dimiliki secara porsi, di mana setiap syarik itu memiliki porsi tertentu dari total emas sesuai dengan kriteria yang sudah disebutkan..."

Kedua, produk E-mas (Emas Digital). Misalnya, si A beli emas melalui mobile banking syariah dengan harga emas yang disepakati.

Setelah dibeli, dititip kepada bank syariah sebagai tabungan, kemudian bisa diserahterimakan berupa cetak fisik, atau ditransfer, atau lainnya.

Produk E-mas ini diperbolehkan, karena selain berizin juga diawasi oleh DPS dan otoritas. Di antara tuntunan syariahnya adalah sebagai berikut.

(a) Harga emas itu jelas disepakati. (b) Jenis emas yang dibeli jelas dan ada (tidak fiktif), serta bisa cetak fisik. (c) Dibeli dengan skema syariah, di antaranya skema jual beli tunai, penitipan menggunakan skema wadiah yad al-amanah, serta cetak fisik dan pengiriman dilakukan dengan skema ijarah.

Hal tersebut sebagaimana (1) Fatwa DSN MUI No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli. (2) Beli emas tanpa menerima fisiknya diperbolehkan selama pembeli memiliki bukti kepemilikan legal dan bisa cetak fisik.

(3) Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI No 57 tentang Emas,

وَيَتَحَقَّقُ الْقَبْضُ الْحُكْمِيُّ بِتَّعْيِيْنِ السَّبِيْكَةِ وَتَمْكِيْنِ الْمُشْتَرِي مِنَ التَّصَرُّفِ بِهَا، أَوْ بِقَبْضِ شَّهَادَةٍ تُمَثِّلُ مِلْكَ سَّبِيْكَةٍ مُعَيَّنَةٍ وَمُمَيِّزَةٍ عَنْ غَيْرِهَا...

"Serah terima emas bisa dilakukan dengan menentukan emas yang dibeli, memberikan kewenangan kepada pembeli untuk memanfaatkan emas, atau pembeli menerima bukti kepemilikan..." (Standar AAOIFI No 57 tentang Emas).

Ketiga, gadai emas. Gadai emas adalah produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif bagi nasabah untuk mendapatkan uang tunai dengan cepat.

Produk gadai emas di bank syariah menjadi salah satu alternatif bagi yang membutuhkan dana tunai dengan cepat dan sesuai syariah dengan memenuhi tuntunan berikut.

(1) Akad yang digunakan. Produk ini kombinasi dari dua akad: (a) Pinjaman (qardh), di mana nasabah meminjam sejumlah uang tertentu kepada bank syariah.

(b) Gadai (rahn), di mana nasabah menyerahkan jaminan emas kepada bank syariah. Di mana bank syariah akan meminta biaya pemeliharaan dan penyimpanan emas nasabah yang disimpan di bank syariah (nafaqatu al-marhun).

(2) Fee yang menjadi hak bank syariah adalah biaya penyimpanan gadai. Saat seseorang menggadaikan emas kepada kreditur, maka emas tetap menjadi milik debitur dan biaya penyimpanannya menjadi kewajiban debitur.

Pada saat emas disimpan di bank syariah, maka bank syariah berhak meminta biaya penyimpanan.

Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا...

"Tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya..." (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan an-Nasa’i).

(3) Biaya penyimpanan tidak ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Hal ini sebagaimana Fatwa DSN MUI, "Biaya penyimpanan barang ditanggung oleh penggadai. Biaya tersebut besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah." (Fatwa DSN MUI No 26).

Dan sebagaimana Fatwa DSN MUI, "Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman." (Fatwa DSN MUI No 25).

Keempat, cicilan emas. Produk cicilan emas (seperti nasabah membeli emas di bank syariah secara angsur dengan margin menggunakan akad jual beli murabahah) diperbolekan sebagaimana Fatwa DSN MUI No 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual-Beli Emas secara Tidak Tunai, yang merujuk pada referensi berikut,

(1) Maksud ungkapan ‘emas’ dalam hadis Rasulullah SAW (الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ) adalah emas sebagai alat bayar (bukan keberadaan emas sebagai komoditas).

Sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ibnu Qayyim yang memaknai emas dalam hadis dengan merujuk pada illat-nya. Di mana maksud ‘emas’ dalam hadis itu hanya emas yang difungsikan sebagai alat bayar (tsaman) merujuk pada fungsi emas pada masa Rasulullah SAW.

Ibnu Rusyd menjelaskan,

وَوَافَقَ الشَّافِعِيُّ مَالِكًا ...أَنَّ كَوْنَهُمَا رُؤُوْسًا لِلْأَثْمَانِ وَقِيَمًا لِلْمُتْلَفَاتِ...

"Imam Syafi’i sependapat dengan pendapat Imam Malik ...bahwa ‘illat keduanya sebagai alat tukar..." (Bidayatul Mujtahid, Hal 481).

(2) Di Indonesia emas saat ini adalah komoditas, bukan alat bayar berdasarkan kebiasaan masyarakat (‘urf). Di mana masyarakat pada umumnya berbelanja, membeli, dan menjual barang atau jasa dengan alat tukar atau alat bayar seperti rupiah.

(3) Pendapat sebagian ulama bahwa emas yang dicetak dan direproduksi seperti cincin dan lainnya itu adalah komoditas bukan alat bayar.

Ibnu al-Qayyim menjelaskan,

أَنَّ الْحِلْيَةَ الْمُبَاحَةَ صَارَتْ بِالصَّنْعَةِ الْمُبَاحَةِ مِنْ جِنْسِ الثِّيَابِ وَالسِّلَعِ، لاَ مِنْ جِنْسِ اْلأَثْمَانِ، فَلاَ يَجْرِي الرِّبَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اْلأَثْمَانِ...

“Bahwa saat emas dijadikan sebagai perhiasan, maka telah dikategorikan sebagai barang (sil’ah) sehingga boleh diperjualbelikan secara tidak tunai..." (I’lam al-Muwaqqi’in, 2/247).

Syekh Sulaiman al-Mani’ menjelaskan,

أَنَّ الثَّمَنِيَّةَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مُوْغَلَةٌ فِيْهِمَا،... إِلاَّ مَا أَخْرَجَتْهُ الصِّنَاعَةُ عَنْ مَعْنَى الثَّمَنِيَّةِ.

“Bahwa fungsi emas dan perak yang lebih dominan itu sebagai alat tukar (harta ribawi),... kecuali emas atau perak yang sudah dibentuk menjadi perhiasan, maka tidak lagi sebagai harga atau uang.” (Lihat Buhuts fi al-Iqtishd al-Islami, hal 322). Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia