• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Zakat Deposito dan Tabungan Mudharabah dari Bagi Hasil?

Bagaimana ketentuan syariah zakat deposito dan tabungan mudharabah?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Terkait zakat deposito dan tabungan mudharabah dikeluarkan dari jumlah saldo akhir termasuk bagi hasilnya atau hanya dikeluarkan dari bagi hasilnya saja? Bagaimana ketentuan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Nugraha, Jakarta

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

(1) Apa itu produk deposito dan tabungan? Lazimnya para deposan menempatkan dananya di deposito bank syariah sebagai produk investasi untuk mendapatkan return atau bagi hasil.

Akad yang ditandatangani antara deposan dengan customer service sebagai wakil bank syariah itu adalah akad mudharabah.

Jika dalam produk deposito akad yang digunakan hanya satu, yaitu mudharabah, maka berbeda dengan produk tabungan di mana secara konsep tabungan di bank syariah itu dapat menggunakan akad mudharabah dan juga akad wadi’ah.

Oleh karena itu, saat penabung memilih tabungan mudharabah, maka ia memilih berinvestasi untuk mendapatkan return atau bagi hasil dan bersedia untuk tidak mengambil (break) dana tabungan tersebut selama dikelola oleh bank syariah sesuai dengan tenor yang disepakati.

Berbeda halnya saat penabung memilih tabungan wadi’ah, maka ia tidak ada niatan untuk investasi tetapi targetnya adalah menyimpan dan menitip uang di bank syariah. Dan pada umumnya punya kebutuhan untuk tarik dana kapan saja (on call) seperti kebutuhan dana darurat.

(2) Isu zakat dalam deposito dan tabungan. Mungkin sebagian merujuk pada kesimpulan bahwa ketentuan yang diberlakukan dalam zakat deposito dan tabungan adalah zakat emas.

Di mana para deposan dan penabung itu menjadi wajib zakat saat saldo tabungan dan deposito dalam satu tahun mencapai minimum senilai 85 gram emas, selanjutnya ditunaikan 2,5 persen. Maksudnya, minimum nishab 85 gram emas itu total saldo akhirnya.

Begitu pula dengan 2,5 persen dari total saldo keseluruhan tabungan dan deposito, bukan dari bagi hasil.

(3) Ketentuan zakat dalam deposito dan tabungan mudharabah.

Kesimpulannya, dana deposito dan tabungan mudharabah itu wajib zakat apabila telah berusia 12 bulan, dan bagi hasilnya mencapai minimal senilai 85 gram emas (nishab), selanjutnya ditunaikan 2,5 persen.

Jadi zakatnya dikenakan pada bagi hasil, bukan pada pokok dan bagi hasil.

(4) Contoh simulasi perhitungan zaka deposito dan tabungan. Misalnya, bagi hasil tabungan dan deposito mudharabah dalam satu tahun berjumlah Rp 100 juta, maka dikali 2,5 persen sehingga zakat yang ditunaikan berjumlah Rp 2.500.000.

Contoh lain, si A buka tabungan mudharabah pada Januari 2024. Kemudian ia tempatkan Rp 1 miliar dengan tenor sembilan bulan.

Pada akhir periode di bulan kesembilan, saldo tabungannya Rp 1,2 miliar. Karena bagi hasilnya Rp 200 juta, maka sudah sampai nishab sehingga ditunaikan zakatnya saat sudah melewati satu tahun (haul) dengan cara langsung dikali 2,5 persen disalurkan kepada dhuafa (melalui lembaga amil zakat) sebagai zakat.

Contoh lain, si B buka deposito pada bulan Syawal tahun lalu. Kemudian ia tempatkan Rp 300 juta.

Pada Ramadhan ini saat ia cek ternyata saldo depositonya Rp 350 juta (dengan jumlah bagi hasil Rp 50 juta). Maka dana tersebut tidak wajib zakat karena belum sampai nishab.

(5) Referensi dan dalil. Di antaranya adalah sebagai berikut.

(a) Berdasarkan karakter tabungan dan deposito mudharabah, di mana dana penabung sebagai pemodal (shahib al-mal) dikelola dalam usaha, seperti halnya saham dan sukuk sehingga lebih tepat zakat hasil usaha.

Berbeda jika tabungannya wadi’ah, di mana dananya sebagai titipan, sehingga berlaku ketentuan zakat emas.

Sebagaimana Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami Nomor 86 (3/9) tentang Deposito di Bank Syariah,

الوَدَائِعُ الَّتِي تُسَلَّمُ لِلْبُنُوْكِ المُلْتَزِمَةِ فِعْلِيًّا بَأَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ بِعَقْدِ اسْتِثْمَارٍ عَلَى حِصَّةٍ مِنَ الرِّبْحِ هِيَ رَأْسِ مَالٍ مُضَارَبَةٍ، وَتَنْطَبِقُ عَلَيْهَا أَحْكَامُ الْمُضَارَبَةِ (القِرَاضِ) فِي الْفِقْهِ الْإِسْلَامِيِّ

"Titipan yang diserahkan kepada bank yang terikat ketentuan hukum syariah melalui akad investasi dengan pembagian nisbah keuntungan adalah modal mudharabah. Maka titipan tersebut berlaku hukum-hukum mudharabah (qiradh) dalam fikih Islam."

(b) Sebagaimana disebutkan dalam kitab Asna al-Mathalib,

جاء في أسنى المطالب: زكاة مال القراض على المالك وإن ظهر فيه (ربح) لأنه ملكه إذ العامل إنما يملك حصته بالقسمة لا بالظهور (أسنى المطالب 385/1).

"Disebutkan dalam kitab Asna al-Mathalib: Ketentuan zakat yang berlaku dalam mudharabah itu menjadi tanggung jawab pemilik modal jika keuntungannya sudah muncul karena itu adalah miliknya. Dan karena pengelola hanya memiliki porsinya setelah dibagi keuntungan, bukan sejak muncul keuntungan." (Asna al-Mathalib, 1/385).

(c) Pendapat DR Adnan Ali Ibrahim Umar Mallah (Zakatul Wadai’ Al-Istitsmariyah wa Tathbiquha fit Tamwil Al-Kuwaitiy) bahwa terdapat tiga pendekatan mengenai zakat pada deposito.

هُنَاكَ ثَلَاثَةٌ اتِّجَاهَاتٍ فِقْهِيَّةٍ لِاحْتِسَابِ الزَّكَاةِ عَلَى الْوَدِيْعَةِ الْاسْتِثْمَارِيَّةِ: (1) تُعَامَلُ مُعَامَلَةَ عُرُوْضِ التِّجَارَةِ فَتُزَكَّى بِنِسْبَةِ 2،5% مِنْ أَصْلِ الْوَدِيْعَةِ مَعَ رِبْحِهَا. (2) تُعَامَلُ مُعَامَلَةَ عُرُوْضِ الْقِنْيَةِ (الأُصُوْلُ الْمُقْتَنَاةُ بِغَرَضِ الْاسْتِثْمَارِ وَالْحُصُوْلِ عَلَى إِيْرَادٍ) وَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي أَصْلِ الْوَدِيْعَةِ وَلكِنَّ تَجِبُ عَلَى صَافِي عَائِدِهَا بَعْدَ طَرْحِ النَّفَقَاتِ إِذَا بَلَغَت النِّصَابَ بِنِسْبَةِ 2،5% أَوْ 10%. (3) الزَّكَاةُ تَجِبُ عَلَى أَصْلِ الْوَدِيْعَةِ وَصَافِي عَائِدِهَا بَعْدَ خَصْمِ النَّفَقَاتِ وَبِنِسْبَةِ 2،5%.

"Terdapat tiga pendekatan fikih untuk menghitung zakat titipan investasi (deposito). (1) Diperlakukan sebagai barang dagangan sehingga dizakatkan 2,5 persen dari nilai pokok bersama keuntungannya. (2) Diperlakukan sebagai barang qinyah (aset yang dimiliki dengan tujuan investasi dan menghasilkan keuntungan) dan tidak diwajibkan zakat pada nilai pokoknya, tapi pada keuntungan bersihnya setelah dikeluarkan untuk biaya-biaya jika mencapai nishab dengan kadar 2,5 persen atau 10 persen. (3) Wajib zakat pada nilai pokok titipan dan keuntungan bersihnya setelah dikurangi biaya-biaya dengan kadar 2,5 persen."

(d) Sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa Dar al-Ifta al-Mishriyah,

الأموال المودعة بالبنوك والتي تدر عائدا بمعدل ثابت فيها الزكاة إذا حال عليها الحول القمري، ومقدار الزكاة الواجبة فيها هو ربع العشر أي اثنان ونصف بالمائة من أصل المال. فإن كان ذلك المال بالنسبة لصاحبه كالأرض بالنسبة لصاحبها في تعيشه منها وتضرره من انتقاص أصلها فله أن يكتفي بإخراج عشر أرباحه الناتجة منه، ويكون ذلك مجزئا له عن زكاة هذا المال المودع، وذلك على رأي بعض أهل العلم. (دار الافتاء المصرية الرقم المسلسل 2276 التاريخ 2010/8/4).

"Dana yang dititipkan di bank yang menghasilkan return dengan persentase pasti, itu wajib zakat apabila telah berusia satu tahun hijriyah dan tarif zakat yang harus ditunaikan adalah 2,5 persen dari dana tersebut. Dan dana tersebut bagi si pemiliknya seperti tanah yang dimiliki oleh si pemiliknya. Oleh karena itu ia cukup menunaikan 2,5 persen dari return atau hasilnya saja dan itu mencukupi menurut pendapat sebgaian para ulama." (Fatwa Dar al-Ifta al-Mishriyah, No 2276, tanggal 4/8/2010).

(e) Prof DR Husein Syahatah menjelaskan,

التكييف الفقهي لهذه الوديعة الاستثمارية الثابتة بغرض الحصول على العائد للإنفاق منه هو عروض قنية بقصد در الإيراد. ولا تجب الزكاة على ذات قيمة الوديعة، ولكن تجب على صافي عائدها بعد طرح النفقات إذا وصلت النصاب.

"Disimpulkan bahwa tabungan mudharabah dengan return yang tetap, di mana penabung menempatkan dananya untuk mendapatkan profit atau bagi hasil itu menurut fikih dikategorikan sebagai ‘urudh qunyah, yaitu aset yang dikelola agar menghasilkan return. Dari sisi fikih zakat, zakat tidak diberlakukan pada modal tabungan tersebut, tetapi diberlakukan pada bagi hasilnya setelah dikurangi biaya-biaya dan serta jika bagi hasil tersebut mencapai nishab." (At-Tathbiq al-Mu’ashir li az-Zakah, Prof DR Husein Syahatah, hal 68).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia