Pengelola Zakat Menurut Nash dan Sirah
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Bagaimana pengelolaan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat? Dalam tuntunan nash dan maqashid syariah, siapa yang boleh mengelola zakat? Mohon penjelasan Ustaz. --Maulana, Aceh
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, saat menelaah nash (Alquran dan al-hadis) dan sirah Rasulullah SAW, maka bisa disimpulkan bahwa tidak ada nash dan fakta sirah yang menegaskan bahwa otoritas (ulil amri) menjadi satu-satunya pihak yang boleh mengelola zakat secara langsung.
Tetapi nash-nash tersebut menunjukkan bahwa zakat harus dikelola oleh lembaga secara profesional agar bisa menyejahterakan masyarakat secara optimal dan tepat sasaran.
Kesimpulan itu berdasarkan dalil-dalil berikut.
(1) Firman Allah SWT,
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS at-Taubah: 60).
Lafaz 'amilin (عاملين) dalam ayat di atas menunjukan bahwa zakat harus dikelola lembaga secara profesional. Ayat ini tidak menyebutkan secara tersirat atau tersurat bahwa zakat itu dilaksanakan secara langsung oleh otoritas (ulil amri).
(2) Hadis Rasulullah SAW,
"Bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus sahabat Muadz ke negeri Yaman, Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, 'Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk (mengambil, pen.) sedekah dari harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan untuk orang-orang fakir. Jika mereka menaatimu, maka hati-hatilah engkau dengan harta berharga mereka dan takutlah dengan doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara Allah dengannya." (HR Jama’ah).
Lafaz "tu’khadzu min aghniya’ihim wa turaddu ‘ala fuqara’ihim" (تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم) menunjukan bahwa yang menghimpun dan mendistribusikan adalah petugas resmi. Maknanya, zakat tidak dikelola oleh personal tetapi dikelola oleh lembaga yang legal.
(3) Sirah Rasulullah SAW,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده كانوا يبعثون السعاة لأخذ الزكاة. (كتاب التلخيص الحبير، ابن حجر العسقلاني، ج:3 ص: 1317).
"Bahwa Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya, mereka mengirim utusannya untuk mengambil zakat.” (al-Talkhis al-Habir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 3/1317).
(4) Fatwa-fatwa sahabat,
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : ادفعوا صدقاتكم إلى من ولاه الله أمركم فمن بر فلنفسه ومن أثم فعليها. (المجموع للنووي 6/164).
"Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, 'Tunaikan sedekahmu kepada ulil amri, barang siapa berbuat baik, maka akan kembali kepada dirinya, dan barang siapa berbuat dosa, maka akan kembali pula kepada dirinya." (Al-Majmu’, An-Nawawi, 6/164).
Lafaz "idfa’u shadaqatikum ila man wallahu allahu amrakum" (ادفعوا صدقاتكم إلى من ولاه الله أمركم) itu mencakup lembaga yang dikelola oleh swasta dan legal.
(5) Para ahli fikih secara umum mengatakan sah seandainya donatur (muzakki) sendiri menyerahkan zakatnya kepada para mustahik.
Sebagaimana Abu Ubaid (pengarang kitab al-Amwal) menceritakan bahwa Ibnu Umar pernah mengubah fatwanya tentang penyerahan zakat.
Pada mulanya ia menganjurkan untuk menyerahkan zakat kepada otoritas (ulil amri), tapi saat otoritas (ulil amri) banyak melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, dia menganjurkan untuk membayar zakat kepada para mustahik secara langsung.
Kedua, jika menelaah nash-nash di atas, maka bisa disimpulkan bahwa maknanya tidak definitif (tidak sharih dilalah), sehingga makna nash-nash tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut.
(1) Perintah agar zakat dibayarkan kepada otoritas (ulil amri) itu dimaksudkan agar zakat bisa terkelola dengan profesional dan tepat sasaran.
Target ini bisa tercapai baik dikelola langsung oleh otoritas (ulil amri) ataupun lembaga swasta lain yang mendapatkan izin dan pengawasan dari otoritas (ulil amri).
(2) Bahwa yang dilarang dalam dalil-dalil di atas adalah jika pengelolaannya diserahkan kepada individu atau pihak yang tidak berizin, tidak diawasi, dan tidak diaudit, karena itu akan menyebabkan hambatan dan tata kelola yang tidak baik.
(3) Dalam masalah muamalah (termasuk masalah zakat yang memiliki dimensi muamalahnya), nash-nash tidak mengatur teknis dan mekanisme pengelolaannya, tetapi diatur berdasarkan kemaslahatan.
Ketiga, pada dasarnya zakat dikelola oleh otoritas (ulil amri), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya agar seluruh aktivitas zakat (dari penghimpunan hingga pendistribusiannya kepada para penerima zakat) itu optimal.
Tetapi siapa yang menjadi pengelola zakat itu merujuk pada kemampuan, kapasitas, tata kelola, dan profesionalismenya.
Di sisi lain, kriteria itulah yang menjadi sumber kepercayaan dan reputasi calon donatur dan masyarakat pada umumnya. Jika itu yang menjadi kesimpulan, maka tidak hanya otoritas (ulil amri) yang boleh mengelola zakat, tetapi juga swasta selama memenuhi kriteria tersebut.
Itulah yang menjadi salah satu pertimbangan kebijakan sebagaimana kaidah:
تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ .
"Keputusan/kebijakan/tindakan pemegang otoritas terhadap rakyat harus mempertimbangkan mashlahat." (al-Asybah wa al-Nazha’ir, al-Suyuthi, hlm 276).
Hal ini sebagai bentuk harmonisasi antara pentingnya penanganan zakat oleh otoritas (ulil amri) agar kepercayaan publik terhadap lembaga zakat serta terpenuhinya hajat para mustahik.
Menurut Islam, pengelolaan zakat itu menjadi kewenangan otoritas (ulil amri) baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung, maksudnya, otoritas (ulil amri) yang langsung mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya. Secara tidak langsung, maksudnya, lembaga lain seperti lembaga swasta yang mendapatkan izin dari otoritas (ulil amri) untuk mengelola zakat sesuai dengan regulasi yang dibuat oleh otoritas (ulil amri).
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya tidak ada dalil sharih yang melarang pengelolaan zakat oleh lembaga swasta. Yang terlarang adalah zakat dikelola tanpa tata kelola yang baik dan ilegal. Dan pengelolaan zakat oleh lembaga swasta sesuai dengan maqashid nash-nash, sirah, dan fatwa sahabat.
Di Indonesia hari ini sudah dipraktikkan, di mana selain lembaga zakat milik negeri sebagai pengelola zakat, juga LAZ (lembaga amil zakat) sebagai lembaga swasta yang mendapatkan izin atau legalitas dari otoritas (ulil amri) untuk melakukan penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat.
Wallahu a’lam.