Syarat Pemberlakuan Pajak dalam Fikih
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan terkait pajak. Saya ingin mengetahui apa saja syarat pemberlakuan pajak menurut syariah. Bagaimana ketentuannya dalam fikih? Mohon penjelasan Ustaz. -- Fauzan, Salatiga
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jika menelaah pendapat para ulama salaf dan khalaf --sejauh yang saya telaah-- menunjukkan bahwa idealnya pajak itu tidak diberlakukan atau tidak dibebankan kepada masyarakat pada umumnya.
Dan para ulama juga sepakat bahwa pajak itu hanya diberlakukan pada saat ada kondisi khusus atau pajak hanya diberlakukan pada saat syaratnya terpenuhi.
Syarat pertama, kas negara tidak cukup membiayai kebutuhan negara. Maksudnya, pajak hanya boleh diberlakukan kepada warga negara saat kas negara atau asumsi pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara.
Oleh karena itu, jika kas atau sumber pendapatan negara itu cukup untuk membiayai kebutuhan negara, maka tidak boleh diberlakukan pajak.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Di antaranya Imam Ghazali mengatakan,
ولم يكن من مال المصالح ما يفي بخراجات العسكر
"Dan kas negara tidak cukup membiayai kebutuhan militer.” (al-Mustashfa, hal 177).
Imam ar-Ramli mengatakan,
إذا لم يندفع بزكاة أو بيت مال.
"Jika kebutuhan tersebut tidak bisa dipenuhi dengan zakat ataupun kas negara.” (Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli, hal 43-46).
Syekh Izzuddin bin Abdus Salam mengatakan,
بشرط أن لا يبقى في بيت المال شيء
“Dengan syarat di kas negara tidak tersedia dana yang cukup untuk membiayai..." (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri’ al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 30).
Fatwa ulama zaman Andalusia,
فأفتاه العلماء بجواز فرض الضرائب إذا حلف بحضرة أهل العلم أن ليس في بيت المال شيء من المال
“Maka para ulama berfatwa dengan membolehkan pemberlakuan pajak jika ia bersumpah di hadapan para ulama bahwa di kas negara tidak tersedia dana..." (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri’ al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 30).
Ibnu Hazm az-Zahiri menegaskan,
إن لم تقم الزكوات، ولا في سائر المسلمين بهم.
“Jika donasi zakat itu tidak mencukupi kebutuhan umat Islam.” (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri' al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 30).
Dalam Hasyiyah Rad al-Muhtar disebutkan,
بأن احتاج إلى ذلك ولم يكن في بيت المال شيء فوظف على الناس ذلك.
"Di mana otoritas membutuhkan biaya tersebut karena tidak ada biaya yang tersedia di kas negara, maka otoritas membebankannya kepada rakyat.” (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri' al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 28).
Syarat kedua, peruntukan pajak. Maksudnya, jika pemerintah menggunakan pajak untuk membiayai program-program pemerintah, seperti salary seluruh ASN dan infrastruktur negara (termasuk infrastruktur pendidikan dan kesehatan), maka dipastikan pendapatan pajak itu hanya boleh digunakan untuk membiayai program atau kebutuhan negara yang bersifat mendasar, seperti infrastruktur pendidikan dan kesehatan rakyat.
Oleh karena itu, tidak boleh pajak diberlakukan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan yang menyimpang menurut syariah atau yang bukan kebutuhan mendasar.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Di antaranya Imam Ghazali mengatakan,
لخيف دخول العدو ديار المسلمين، أو خيف ثوران الفتنة من أهل العرامة في بلاد الإسلام.
"Dikhawatirkan musuh masuk ke daerah-daerah Islam atau dikhawatirkan terjadi fitnah di negara-negara Islam.” (al-Mustashfa, hal 177).
Imam ar-Ramli mengatakan,
ومن فروض الكفاية دفع ضرر المسلمين، ككسوة عارٍ، وإطعام جائع.
"Bagian dari fardhu kifayah adalah meminimalisasi kerugian atau bahaya terhadap umat Islam seperti menyediakan pakaian bagi yang tidak memiliki pakaian dan menyediakan makanan bagi yang kelaparan.” (Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli, hal 43-46).
Ibnu Hazm az-Zahiri menegaskan,
فيقام لهم بما يأكلون من القوت الذي لابد منه، ومن اللبس للشتاء والصيف لمثل ذلك، وبمسكن يكنهم من المطر، والصيف، والشتاء...
"Mereka disediakan makanan pokok yang harus mereka konsumsi, pakaian yang akan mereka gunakan saat musim panas dan musim dingin, dan tempat tinggal yang mereka butuhkan dan melindungi mereka saat hujan, musim panas, dan musim dingin...” (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri’ al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 30).
Dalam Hasyiyah Rad al-Muhtar disebutkan,
زمن النوائب ما يكون بالحق كري النهر المشترك للعامة، وأجرة الحارس للمحلة والمسمى الخفير وما وظف للإمام ليجهز به الجيوش، وفداء الأسرى،
"Masa pemberlakuan nawaib, yaitu pada saat terjadi kebutuhan akan pengairan untuk publik, upah penjaga yang dinamakan al-khafir, kebutuhan anggaran untuk menyiapkan prajurit, dan pembebasan tawanan.” (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri' al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 28).
Syarat ketiga, hanya diwajibkan bagi para hartawan. Para ulama sepakat bahwa pajak hanya diberlakukan kepada hartawan dan tidak boleh diberlakukan kepada masyarakat dhuafa dan mereka yang tingkat ekonominya pas-pasan karena bertentangan dengan prinsip keadilan.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Di antaranya Al-Imam asy-Syatibi menegaskan,
...فللإمام إذا كان عدلاَ أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافيًا لهم في الحال إلى أن يظهر مال في بيت المال...
“... Jika bisa berlaku adil, maka otoritas boleh memberlakukan pajak terhadap para hartawan sebesar nominal atau nilai tertentu yang cukup hingga tersedia dana atau biaya di kas negara..."
Imam Ghazali mengatakan,
جاز للإمام أن يوظف على الأغنياء مقدار كفاية الجند.
"Otoritas boleh membebankan biaya yang cukup untuk kebutuhan tentara terhadap para hartawan.” (al-Mustashfa, hal 177).
Imam ar-Ramli mengatakan,
على القادرين وهم من عنده زيادة على كفاية سنة لهم ولمموليهم.
“Maka menjadi tanggung jawab orang-orang yang mampu. Maksudnya adalah mereka yang memiliki surplus atas biaya satu tahun untuk mereka dan yang mereka nafkahi.” (Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli, hal 43-46).
Ibnu Hazm az-Zahiri menegaskan,
فرض على الأغنياء من أهل كل بلد أن يقوموا بفقرائهم،
“Diwajibkan kepada para hartawan setiap negara agar mereka ikut serta membantu para dhuafa di negara tersebut.” (ad-Dharibah fii Mizan at-Tasyri' al-Islami, Musthafa Mahmud Zaki, hal 30).
Syarat keempat, objek wajib pajak. Jika menelaah beberapa penegasan salafus shaleh dalam sebagian sirah, bisa disimpulkan bahwa objek pajak (wi’a adh-dharibah) itu beragam, di antaranya hasil tani (seperti buah-buahan) dan pendapatan. Baik dihitung dari penghasilannya ataupun dihitung dari wajib pajaknya. Tetapi jika ini dikaitkan dengan kriteria lain yang disebutkan di atas bahwa pajak hanya diberlakukan untuk para hartawan, sehingga kesimpulan akhirnya pendapatan atau penghasilan yang menjadi objek pajak hanya yang dimiliki oleh para hartawan saja.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya Al-Imam asy-Syatibi menegaskan,
...ثم إليه النظر في توظيف ذلك على الغلات والثمار وغير ذلك.
"... Kemudian membebankan biaya tersebut dalam --pajak-- pendapatan, hasil buah-buahan dan sejenisnya.”
Sebagaimana dijelaskan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Fatawa mengatakan,
وإذا طلب منهم شيء يؤخذ على أموالهم ورؤوسهم، مثل الكلف السلطانية التي توضع عليهم كلهم، إما على عدد رؤوسهم، أو على عدد دوابهم، أو على أكثر من الخراج الواجب بالشرع، أو تؤخذ منهم الكلف التي أحدثت في غير الأجناس الشرعية، كما يوضع على المتابعين للطعام والثياب والدواب والفاكهة، وغير ذلك، يؤخذ منهم إذا باعوا، ويؤخذ تارة من البائعين، وتارة من المشترين.
"Jika para hartawan tersebut diberlakukan kepada mereka atas aset-asetnya seperti Kulaf Sulthaniyah baik diberlakukan sesuai dengan jumlah orangnya, atau jumlah tunggangan atau asetnya, atau dari tanah mereka yang wajib ditunaikan menurut syariah. Atau pajak (kulaf) diambil dari mereka atas selain aset-aset tersebut sebagaimana diambil dari para mutabi’ atas makanan, pakaian, barang tunggangan, buah-buahan, dan lainnya. Itu semua diambil dari mereka saat mereka menjualnya, dan terkadang diambil dari para penjual dan terkadang diambil dari para pembeli.” (al-Fatawa, Risalatu al-Mazhalim al-Musytarikah, jilid 41, hal 30-40).
Wallahu a’lam.