• Sunrise At: 06:05
  • Sunset At: 17:53
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Denda Keterlambatan Menurut Ulama Salaf dan Khalaf

Bagaimana pandangan ulama salaf dan khalaf terkait denda keterlambatan?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Sebagian masyarakat masih memperdebatkan perihal denda keterlambatan. Sebenarnya, bagaimana pandangan ulama salaf dan khalaf terkait denda keterlambatan? Mohon penjelasan Ustaz. --Reza, Bogor

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertama-tama, perlu dijelaskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa debitur (peminjam) yang mampu bayar, tetapi sengaja tidak memenuhi utangnya kepada kreditur itu boleh dikenakan sanksi atau hukuman karena telah merugikan dan menzalimi kreditur.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ

"Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya." (HR Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Dan hadis Rasulullah SAW,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءٍ فَلْيَتْبَعْ

"Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan utangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah." (HR Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya, mayoritas ulama yang membolehkan hukuman, berbeda pendapat ihwal jenis sanksi yang boleh dikenakan terhadap debitur, yaitu sebagai berikut.

Pendapat pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa jenis sanksinya adalah debitur tersebut dipenjara (yuhbas) oleh otoritas.

Pendapat kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa jenis sanksinya adalah debitur tersebut di-blacklist (yuhjar) sehingga tidak bisa menjadi mitra dalam bisnis.

Pendapat ketiga, sebagian ulama berpendapat bahwa jenis sanksinya, debitur tersebut dicambuk (yudhrab) dengan putusan otoritas.

Pendapat keempat, sebagian ulama berpendapat bahwa jenis sanksinya, debitur tersebut diasingkan (yunfa) berdasarkan putusan otoritas.

Sebagaimana penjelasan Asy-Syaukani berikut.

واستدل بالحديث على جواز حبس من عليه الدين حتى يقضيه إذا كان قادرا على القضاء تأديبا له وتشديدا عليه... وإلى جواز الحبس للواجد ذهبت الحنفية وزيد بن علي. وقال الجمهور: يبيع عليه الحاكم ...، وأما غير الواجد فقال الجمهور: لا يحبس، لكن قال أبو حنيفة: يلازمه من له الدين. وقال شريح: يحبس والظاهر قول الجمهور، ويؤيده قوله تعالى: فنظرة إلى ميسرة (سورة البقرة، الآية: 280).

"Asy-Syaukani berdalil dengan hadis bahwa debitur yang mumathil boleh dihukum dengan penjara hingga melunasi utangnya, jika ia mampu untuk melunasi sebagai salah satu bentuk hukuman agar jera... Di antara ulama yang berpendapat bahwa hukumannya dipenjara adalah ulama mazhab Hanafi dan Zaid bin Ali.

Sedangkan mayoritas ulama mengatakan, otoritas menjual aset yang dimilikinya... Sedangkan mereka yang dalam kondisi mu’sir atau kesusahan bayar mayoritas ulama mengatakan tidak dipenjara. Tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat, kreditur berhak untuk memata-matainya.

Syurah mengatakan, ia dipenjara. Dan pendapat yang unggul adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana diperkuat dengan ayat “... Berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan..." (QS al-Baqarah: 180)." (Asy-Syaukani, Nail al-Authar, 5/361).

Sebagaimana Ash-Shan'ani saat menjelaskan hadis, “Layyu al-wajidu yuhillu ‘irdhahu wa ‘uqubatahu."

وَعُقُوبَتُهُ حَبْسُهُ

"Hukumannya adalah dengan ia (debitur) dipenjara." (Ash-Shan’ani, Subul as-Salam, 3/77).

Untuk mengetahui ragam pendapat seputar jenis sanksi bagi debitur tersebut bisa dilihat, Buhuts fii Qadhayah Fiqhiyah Mu’ashirah, Utsmani, hal 42 dan Dirasati Fii Ushul al-Mudayanat, Nazih Hammad, hal 292.

Pendapat kelima, sebagian ulama berpendapat bahwa debitur dikenakan sanksi berupa uang sebagai denda keterlambatan dan disalurakan sebagai dana sosial seperti halnya infak.

Di antara yang berpendapat ini adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang menegaskan dalam Fatwanya Nomor 17 /DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.

“Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.”

Berdasarkan pemaparan seputar perbedaan pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa yang lebih maslahat dan bisa diterapkan adalah pendapat kelima.

Kesimpulan tersebut karena alasan berikut.

(1) Jika ditelaah, pendapat yang pertama, kedua, ketiga, dan keempat tidak realistis untuk diberlakukan saat ini karena pemberlakuannya membutuhkan regulasi, aturan, infrastruktur, dan tata laksana agar hukuman bisa sesuai dengan targetnya membuat jera tetapi tidak membuat masalah-masalah baru.

Karena infrastruktur dan tata laksananya tidak tersedia, maka pendapat-pendapat tersebut tidak tepat untuk diberlakukan saat ini. Sehingga yang paling mungkin dan maslahat diberlakukan adalah denda keterlambatan berinfak dengan uang.

(2) Pengenaan denda keterlambatan untuk menghindarkan kerugian dan mudharat, serta agar nasabah disiplin. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,

...لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ.

"...Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik).

(3) Kebolehan tentang denda keterlambatan menurut ulama Malikiyah merujuk kepada kaidah fikih sebagaimana disebutkan oleh ad-Dusuqi,

مَنِ الْتَزَمَ مَعْرُوْفًا لَزِمَهُ

"Siapa yang berkomitmen melaksanakan suatu kebaikan, maka ia wajib menunaikannya.” (Hasyiyah ad-Dusuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, ad-Dusuqi, 4/26).

Berdasarkan kaidah ini, maka nasabah yang sepakat dan menyetujui pembiayaan di bank syariah dan di antara klausulnya adalah membayar denda keterlambatan saat ia terlambat bayar dan bank syariah berkewajiban menyalurkannya sebagai dana sosial, maka itu berarti ia mewajibkan diri sendiri untuk membayar denda keterlambatan.

Ringannya, nasabah yang membayar denda keterlambatan pada saat akad itu seakan-akan menyampaikan, "Saya berjanji jika saya terlambat bayar saya akan berinfak."

(4) Denda keterlambatan itu bukan bagian dari riba karena bukan terjadi dalam transaksi qardh (pinjaman), tetapi terjadi dalam transaksi jual-beli tidak tunai.

Dan karena uang yang diserahkan oleh debitur tersebut tidak menjadi pendapatan kreditur, tetapi menjadi infak untuk para dhuafa.

(5) Pilihan membolehkan denda keterlambatan adalah pilihan yang maslahat untuk debitur dan kreditur, juga menghilangkan madharat.

Maslahat yang dimaksud adalah dengan denda keterlambatan ini, debitur termotivasi bahkan dipaksa untuk menunaikan kewajibannya. Maslahat kreditur maksudnya dengan denda ini akhirnya haknya terpenuhi.

Madharat yang dimaksud karena jika debitur itu terlambat atau gagal bayar --selain sebagai maksiat-- juga merugikan kreditur. (Lihat Mathlu al-Ghaniy Zhulmun wa Innahu Yuhillu ‘Irdhahu wa ‘Uqubatahu, bagian dari Fatwa dan Kajian Syeikh Sulaiman al-Mani’ 3/261).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia