• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Kapan Kerja Itu Menjadi Ibadah?

Apa kriteria suatu pekerjaan itu bagian dari ibadah atau bukan?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya mendengar ungkapan bahwa bekerja itu termasuk ibadah. Hal yang ingin saya tanyakan, kapan bekerja itu menjadi ibadah? Apakah ada kriteria suatu pekerjaan itu bagian dari ibadah atau bukan? Mohon penjelasan Ustaz. --Syarif, Malang

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Sesungguhnya, walaupun ibadah dalam arti shalat, zikir, dan ibadah lainnya itu sangat penting menjadi sumber keyakinan dan akhlak, tetapi ibadah bukan hanya di masjid dan bukan hanya di atas sajadah.

Ibadah bukan hanya shalat dan sujud, bukan hanya puasa sahur dan berbuka, serta bukan hanya umrah dan haji.

Akan tetapi, bekerja mencari nafkah itu juga ibadah, termasuk berangkat ke kantor dengan kereta atau motor, menunggu di halte.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, apakah setiap aktivitas kerja itu dinilai sebagai ibadah, berpahala layaknya ibadah dan jihad? Ataukah ada bagian dari pekerjaan yang bukan termasuk ibadah?

Sesungguhnya, tidak setiap pekerjaan menjadi ibadah. Suatu pekerjaan menjadi ibadah apabila memenuhi kriteria berikut.

Saat pekerjaan itu menjadi ibadah, maka pekerjaan menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT

Pertama, niat dan cara pandang. Di antara contoh niat karena Allah SWT adalah niat agar tidak punya utang, niat agar memenuhi kebutuhan keluarga, dan niat agar bisa membiayai lebih orang tua.

Karena saat pekerjaan itu menjadi ibadah, maka pekerjaan menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub). Ia menjadi ibadah apabila orang yang bekerja tersebut berniat mengerjakan pekerjaan tersebut (al-qasdu atau menyengaja).

Kedua, tidak ada aktivitas pekerjaan yang bertentangan dengan syariah dan aturan atau regulasi. Karena sesuatu yang maksiat atau penyimpangan itu tidak lagi dikategorikan sebagai penghambaan, tetapi sebaliknya dikategorikan sebagai pembangkangan kepada Allah SWT.

Saat seseorang berniat karena Allah SWT untuk bekerja, tetapi pekerjaannya tidak halal, maka sama sekali tidak dikategorikan sebagai ibadah.

Ketiga, bekerja dengan kesungguhan. Di antaranya dengan semangat mengejar target sesuai dengan target atau key performance indicator (KPI) lembaga tempat bekerja.

Jadi, saat seseorang bekerja asal-asalan tanpa kinerja apalagi kesungguhan, maka menunjukan bahwa tidak ada niat untuk beribadah dan tidak menjadikan itu sebagai penghambaan kepada Allah SWT.

Hal tersebut sebagaimana penjelasan Imam Syatibi,

[النية شرط في كون العمل عبادة، والنية المرادة هنا نية الامتثال لأمر الله ونهيه، وإذا كان هذا جاريًا في كل فعل وترك، ثبت أن في الأعمال المكلف بها طلبًا تعبديًّا على الجملة] اهـ.

“Niat itu menjadi syarat sebuah aktivitas itu dikategorikan sebagai ibadah. Niat yang dimaksud di sini adalah niat untuk menunaikan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Jika ini berlaku atas setiap perintah dan larangan, maka ini juga berlaku atas setiap aktivitas hamba yang berisi perintah.” (Al-Muwafaqat 2/537).

Dan sebagaimana penjelasan az-Zaila’i,

[وبعض أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بل كبراؤهم كانوا عمالًا؛ لأن العمل عبادة وله الأجر على ذلك] اهـ.

“Sebagian sahabat Rasulullah SAW bahkan para pimpinan mereka adalah para pekerja dan profesional; karena bekerja bagian dari ibadah yang menjadi sumber pahala.” (Tabyin al-Haqaiq 4/226).

Selanjutnya, dalam bukunya Madkhal li Ma’rifati al-Islam, al-Qardhawi menjelaskan bahwa sesungguhnya seseorang dikategorikan beribadah menghamba kepada Allah SWT pada saat di masjid, ia sujud kepada Allah SWT.

Akan tetapi juga di tempatnya bekerja ia tunduk dengan menjadi seorang pegawai profesional dan taat pada aturan perusahaan dan regulasi.

Bukan bagian dari penghambaan kepada Allah SWT saat seseorang sujud di atas sajadah dan berzikir, tetapi menghalalkan segala cara.

Sebaliknya, bukan bagian dari seorang hamba yang menyembah Allah SWT pada saat di tempat kerja, tercatat sebagai seorang pegawai profesional berkinerja tinggi bahkan pegawai teladan, tetapi ia abai akan kewajiban shalat lima waktu (tidak pernah sujud di masjid).

Al-Qardhawi menulis,

إن هذه الشعائر العظيمة والأركان الأساسية في بناء الإسلام ـ على منزلتها وأهميتها ـ إنما هي جزء من العبادة لله، وليست هي كل العبادة التي يريدها الله من عباده.

“Sesungguhnya, ibadah (mahdhah atau sya’air) itu adalah pondasi Islam --dengan segala urgensi dan fungsinya-- tetapi ia adalah bagian dari ibadah (penghambaan kepada Allah), dan bukan menjadi satu-satunya atau s eluruh ibadah yang diinginkan oleh Allah terhadap hambanya.”

والحق أن دائرة العبادة التي خلق الله لها الإنسان، وجعلها غايته في الحياة ومهمته في الأرض، دائرة رحبة واسعة، إنها تشمل شؤون الإنسان كلها، وتستوعب حياته جميعا.

“Sesungguhnya, ruang lingkup ibadah yang menjadi prinsip setiap manusia dan menjadi tujuan hidupnya di muka bumi itu luas mencakup seluruh sisi kehidupan manusia yang tak terbatas.”

العبادة انقياد لمنهج الله وشرعه: إن مقتضى عبادة الإنسان لله وحده: أن يخضع أموره كلها لما يحبه تعالى ويرضاه، من الاعتقادات والأقوال والأعمال، ... : " سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ" (البقرة:285).

“Ibadah itu adalah ketundukan kepada seluruh tuntunan syariah Allah SWT. Bagian dari ibadah setiap manusia kepada Allah ia tunduk dengan seluruh tuntunan, keinginan, dan ridha Allah SWT baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun aktivitas hati dan keyakinan... Sebagaimana firman Allah SWT, 'Kami dengar dan kami taat.' (Mereka berdoa), 'Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali'.” (QS al-Baqarah: 285).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia