• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Malam Tahun Baru

Bagaimana tuntunan syariah merayakan malam pergantian tahun baru?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustaz, bolehkah kita sebagai Muslim mengisi malam tahun baru Masehi bersama keluarga atau teman-teman? Adakah tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Bani, Depok

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Agar runut dan mudah dipahami, jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, sebagai mukadimah perlu dijelaskan maksud kegiatan dan tahun baru di Indonesia. Biasanya, setiap kali pergantian tahun (tak terkecuali saat meninggalkan tahun 2024 dan memasuki 2025), diisi dengan kegiatan yang beragam, seperti ngumpul sambil pesta kembang api.

Tetapi ada juga yang mengisi malam tahun baru dengan mengadakan muhasabah dan tahajud bersama, silaturahim keluarga, dan lainnya.

Yang menjadi catatan, aktivitas malam tahun baru itu diadakan sebagai salah bentuk merayakan tahun baru ataupun hanya untuk mengisi pergantian malam tahun baru (tidak ada niatan merayakan tahun baru).

Kedua, jika menelaah ragam pendapat para ulama terkait aktivitas di malam tahun baru, maka disimpulkan secara substansi bahwa merayakan tahun baru itu dibolehkan dengan ketentuan berikut.

(1) Tidak ada ritual agama lain yang menyertainya yang bertentangan akidah Islam.

(2) Tidak ada aktivitas atau perilaku maksiat dan penyimpangan syariah, seperti minum-minuman memabukkan dan tontonan pornografi.

(3) Tidak ada aktivitas yang merugikan masyarakat dan tidak ada kegiatan yang melanggar aturan (ilegal).

(4) Isi kegiatan malam tahun baru kebaikan atau sesuatu yang mubah. Kebaikan itu seperti muhasabah malam tahun baru dan silaturahim keluarga. Sedangkan sesuatu yang mubah itu seperti makan bersama keluarga besar dan bentuk kegembiraan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Ketiga, kesimpulan tersebut merujuk pada beberapa tuntunan.

(1) Penjelasan Syekh Athiyah Saqr (wafat 2006 M), ketua Komisi Fatwa Al-Azhar pada zamannya, beliau menjelaskan,

فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ.

"Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.

Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang Muslim? Tak diragukan lagi bahwa menikmati keindahan hidup dengan makan, minum, dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan bagian dari akidah yang rusak.” (Wizarah Al-Auqaf Al-Mishriyah, Fatawa Al-Azhar, X/311).

Walaupun penjelasan ini terkait dengan syammu an-nasim, tetapi konten jawaban tersebut bisa diberlakukan terkait aktivitas mengisi malam tahun baru.

(2) Jika yang menjadi isu dan permasalahan adalah istilah dan kata “merayakan”, maka sesungguhnya yang menjadi substansi adalah isi, konten, maksud, dan cara menyelenggarakannya.

Sebagaimana kaidah dalam ushul fiqih, "La musyahata fil ishthilah” dan kaidah, “al-ibratu bil musammayat la bil asma” (Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, hlm 32).

(3) Di tengah kebiasaan masyarakat yang beragam, salah satu pilihan terbaik adalah memberikan bimbingan, edukasi, dan memberikan pilihan alternatif yang sesuai dengan fikih dan adab, serta bisa menjadi pilihan masyarakat.

(4) Merujuk pada substansi fatwa beberapa otoritas fatwa di luar negeri seperti otoritas fatwa di Mesir, beberapa ulama internasional semisal Syekh ‘Athiyah Saqr, dan penjelasan beberapa lembaga di Indonesia seperti Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam, “Hukum asal memperingati hari tertentu non ritual keagamaan adalah mubah.” (Keputusan No 001 Tahun 1444 H/ 2023 M).

Keempat, dengan empat kriteria tersebut, maka isi dari kegiatan itu tidak ada yang menyerupai dengan Yahudi atau Nasrani (tasyabbuh) karena isinya tidak ada ritual keagamaan, tidak ada maksiat, tidak ada yang merugikan, tetapi isinya kebaikan atau hal-hal yang tidak dilarang.

Begitu pula praktik ini bukan bagian dari bid’ah yang terlarang karena tidak ada nash yang melarang bermuhasabah akhir tahun, tidak ada yang melarang pertemuan keluarga, dan tidak ada yang melarang aktivitas yang mubah.

Semoga Allah SWT meridhai setiap aktivitas kita.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia