• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Potongan Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo

Bagaimana aturan syariah saat pelunasan sebelum jatuh tempo?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Bagaimana ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI terbaru yang mengatur saat pelunasan sebelum jatuh tempo dalam pembiayaan murabahah? Bagaimana dengan diskon, apakah wajib diberikan atau ada ketentuan lain? Mohon penjelasan Ustaz. --Indra, Aceh

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, sebagai mukadimah, perlu dijelaskan bahwa yang menjadi rujukan adalah Fatwa DSN MUI No 153/DSN-MUI/VI/2022 tentang Pelunasan Utang Pembiayaan Murabahah Sebelum Jatuh Tempo, bukan Fatwa DSN No 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah.

Selanjutnya, sebelum menjelaskan tentang ketentuan hukum seputar pelunasan sebelum jatuh tempo, akan dijelaskan ilustrasi dan beberapa istilah terkait agar dapat mudah dipahami gambaran dan ketentuan hukumnya.

Kedua, misalnya, nasabah A melakukan pembiayaan kepada bank syariah (membeli rumah dari bank syariah dengan akad murabahah) dengan tenor cicilan 10 tahun, dan total kewajibannya sebesar Rp 1 miliar. Kemudian pada bulan kelima, ia melunasi kewajiban tersebut.

Jika ini dilakukan, bagaimana formulasi menghitung kewajiban nasabah yang harus dibayarkan?

Dalam fatwa DSN itu disebut dengan Pelunasan Utang Pembiayaan Murabahah Sebelum Jatuh Tempo (PU-PMSJT). Maksudnya, pelunasan utang murabahah lebih awal dari jangka waktu yang disepakati.

Sebelum keluarnya fatwa nomor 153, ada beberapa istilah dengan maksud yang sama, yaitu pelunasan sebelum jatuh tempo atau pelunasan dipercepat.

Ketentuan terkait pelunasan dipercepat dalam fatwa ini hanya diberlakukan dalam pembiayaan murabahah, seperti pembiayaan KPR, kendaraan bermotor, dan produk-produk lembaga keuangan syariah (LKS) lain yang menggunakan akad murabahah.

Nah, murabahah yang dimaksud adalah akad jual-beli dengan memberitahukan harga perolehan kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan.

Sedangkan pembiayaan murabahah adalah penyediaan dana oleh LKS yang disalurkan dengan cara menyediakan barang untuk dijual kepada nasabah yang menggunakan akad murabahah dengan pembayaran tidak tunai.

Selanjutnya, berapa yang harus dibayarkan oleh nasabah saat melakukan pelunasan dipercepat itu berkaitan dengan tiga jenis harga berikut.

(a) Harga yang disepakati jika akad murabahah dilakukan secara tunai atau harga jual tunai (tsaman naqdy).

(b) Harga jual tidak tunai (qimah ismiyyah). Maksudnya, harga yang disepakati LKS (sebagai penjual) dan nasabah (sebagai pembeli) berdasarkan jangka waktu yang disepakati pada saat akad (qimah ismiyyah).

(c) Harga pada saat dilakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (qimah haliyyah), yaitu harga jual tunai (tsaman naqdy) plus tambahan harga berdasarkan waktu yang telah dilewati (bi qadri ma madha min al-ayyam).

Ketiga, ketentuan hukum terkait pelunasan sebelum jatuh tempo. (1) Wajib memberikan potongan. Jika dalam fatwa sebelumnya, LKS boleh memberikan potongan selama tidak dipersyaratkan, tetapi dalam fatwa terbaru ini LKS sebagai penjual wajib memberikan potongan harga dari harga yang disepakati pada saat pembiyaan murabahah (qimah ismiyyah), baik pelunasan sebelum jatuh tempo itu dilakukan atas kehendak nasabah maupun atas kehendak LKS.

(2) Cara menghitung atau mengetahui sisa kewajiban nasabah. Untuk mengetahui total sisa harga yang harus dibayarkan oleh nasabah sebagai pembeli pada saat pelunasan sebelum jatuh tempo dengan formulasi: harga pada saat pelunasan sebelum jatuh tempo (qimah haliyyah) dikurangi dengan angsuran yang telah dibayar.

(3) Agar formulasi tersebut bisa dipahami dan dilakukan, maka pada saat akad pembiayaan murabahah harus disepakati harga perolehan, harga jual tunai (tsaman naqdy), dan harga jual tidak tunai (qimah ismiyyah).

(4) Walaupun LKS wajib memberikan potongan harga sesuai dengan perhitungan di atas, tetapi pada saat yang sama pelunasan dipercepat dilakukan atas kehendak nasabah, maka LKS boleh mengenakan biaya riil dan biaya untuk penyelesaian administrasi pengakhiran akad murabahah kepada nasabah merujuk kepada Fatwa DSN MUI No 134/DSN-MUI/II/2020 tentang Biaya Riil Sebagai Akibat Penjadwalan Kembali Tagihan.

Keempat, dalil dan landasan. Dalam Fatwa DSN MUI disebutkan bahwa formulasi harga yang disepakati dikurangi harga atas dasar jangka waktu yang tidak dilewati itu merujuk kepada penjelasan Rafiq Yunus Al-Misri berikut,

إِذَا كَانَ الدَّيْنُ بَيْعًا مُؤَجَّلًا، زِيدَ فِيْهِ لِلْأَجَلِ، فَالْوَاجِبُ فِيْمَا نَرَى هُوَ الْقِيْمَةُ الْحَالِيَّةُ الَّتِي نَحْصُلُ عَلَيْهَا بِأَنْ نَطْرَحَ مِنَ الْقِيْمَةِ الْإِسْمِيَّةِ (الْمُؤَجَّلَةِ) بِنِسْبَةِ الْأَجَلِ الْمُتَبَقِي فَإِذَا زِندَ عِشْرُونَ لِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، ثُمَّ تَمَّ السَّدَادُ بَعْدَ شَهْرَيْنِ طَرَحْنَا مِنَ الْقِيْمَةِ الْإِسْمِيَّةِ مَا مِقْدَارُهُ عَشَرَةُ.

“Apabila utang timbul karena jual beli tangguh yang ditambah harganya karena jangka waktu, maka menurut kami, utang yang menjadi kewajiban adalah harga sekarang (saat pelunasan), yaitu harga yang disepakati (qimah ismiyyah) dikurangi harga atas dasar jangka waktu yang tidak dilewati. Jika keuntungan berjumlah 20 untuk empat bulan, kemudian dia melunasinya pada akhir bulan kedua; keuntungan 20 tersebut dikurangi 10, (maka keuntungan yang wajib dibayar adalah 10).” (Rafiq Yunus Al-Misri, Al-Bai’ bi al-Taqsith dalam Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, Pertemuan ke-7, edisi ke-7, [2/92-93]).

idak hanya Prof Dr Rofiq Yunus al-Misry yang menjelaskan formulasi ini, tetapi al Haskafi (salah seorang ulama mazhab Hanafi) menegaskan bahwa kewajiban pembeli itu sebesar nilai utang berdasarkan jumlah hari yang sudah dilewati.

Al-Hashkafi dalam Durr al-Mukhtar menjelaskan,

لَوْ حَلَّ لِمَوْتِهِ أَوْ أَدَّاهُ قَبْلَ حُلُولِهِ لَيْسَ لَهُ مِنْ الْمُرَابَحَةِ إِلَّا بِقَدْرِ مَا مَضَى مِنْ الْأَيَّامِ وَهُوَ جَوَابُ الْمُتَأْخَرِينَ.

“Jika kewajiban bayar (dain) jatuh tempo akibat kematian debitur atau debitur membayarnya sebelum jatuh tempo, maka (dalam kasus dain muncul akibat murabahah tangguh) kreditur tidak berhak kecuali sesuai dengan nilai kewajiban untuk hari-hari yang sudah berlalu (antara akad murabahah dan hari kematian atau waktu pelunasan yang dipercepat). Pendapat tersebut adalah jawaban kalangan ulama muta’akhkhirin (Hanafiyyah).” (Ad-Durr al-Mukhtar Syarhu Tanwir al-Abshar, ‘Alauddin al-Hashkafi, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh, 7/387).

Al-Hashkafi juga dalam Durr al-Mukhtar menjelaskan,

قَضَى الْمَدْيُونُ الدِّيْنَ الْمُؤَجَّلَ قَبْلَ الْجُلُولِ أَوْ مَاتَ فَحَلَّ بِمَوْتِهِ (فَأَخَذَ مِنْ تَرِكَتِهِ لَا يَأْخُذُ مِنْ الْمُرَابَحَةِ الَّتِي جَرَتْ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِقَدْرِ مَا مَضَى مِنَ الْأَيَّامِ وَهُوَ جَوَابُ الْمُتَأَخِّرِينَ) قُنْيَةٌ وَبِهِ أَفْتَى الْمَرْحُومُ أَبُو السُّعُودِ أَفَنْدِي مُفْتِي الرُّومِ وَعَلَّلَهُ بِالرِّفْقِ لِلْجَانِبَيْنِ.

“Jika debitur melunasi utang (dain) yang berjangka waktu sebelum jatuh tempo, atau jika dia meninggal dunia (sebelum jatuh tempo), sehingga mengakibatkan kewajiban bayarnya langsung jatuh tempo (akibat kematiannya) maka kreditur mengambil haknya dari tirkah debitur. (Dalam hal dain dalam dua kasus ini) akibat dari transaksi murabahah tangguh yang berlaku di antara keduanya maka kreditur tidak berhak kecuali sesuai dengan nilai utang berdasarkan jumlah hari yang sudah dilewati.

Pendapat tersebut adalah jawaban kalangan ulama muta’akhkhirin (Hanafiyyah). Penjelasan ini dikutip dari buku Qinyah al-Munyah ‘ala madzhab Abi Hanifah.

Pendapat ini juga yang difatwakan oleh al-marhum Abu al-Sa’ud Afandi Mufti al-Rum. Ia memberikan alasan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kebaikan bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur atau pembeli dan penjual).” (Ad-Durr al-Mukhtar Syarhu Tanwir al-Abshar, ‘Alauddin al-Hashkafi, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh, 10/489).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia