Harta Pusaka Tua, Warisan atau I’arah atau Hibah Manfaat?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Salah satu tradisi di sebagian masyarakat adalah adanya harta pusaka tua yang diberikan kepada perempuan. Harta pusaka tua, seperti ladang atau sawah dan bangunan rumah yang diwariskan secara turun-temurun kepada anak perempuan ketika seorang ibu meninggal. Menurut fikih, apa jenis kepemilikannya? Apa saja akad antara keluarga besar dengan anak perempuan atau penerima? Mohon penjelasan Ustaz. -- Umar, Padang
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan ini akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Bagian pertama, agar gambaran tentang apa itu harta pusaka menjadi jelas, maka berikut dijelaskan seputar harta pusaka yang bersumber dari hasil wawancara dan telaah terhadap pendapat dan kajian para ahli dan para guru dari tanah Minang yang memahami harta pusaka tua.
Penjelasan tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut.
(1) Asal muasal harta pusaka tua. Contoh harta pusaka tua adalah lahan, ladang, sawah, hutan, padang perburuan, bangunan, dan rumah.
Harta tersebut bukan hasil pendapatan atau pencaharian si ibu atau ayah, tetapi diwariskan secara turun-temurun kepada anak perempuan ketika seorang ibu meninggal dunia. Alasan hak dari harta pusaka adalah penguasaan atas aset yang digarap oleh keluarga secara turun-temurun.
(2) Status harta pusaka tua. Menurut adat, harta pusaka bukan milik pribadi si Ibu atau anak perempuan, tetapi milik kaum atau keluarga besar.
Oleh karena itu, tidak boleh diperjualbelikan dan dialihkan kepemilikan kecuali atas seizin seluruh keluarga besar.
(3) Ihwal pihak yang mengelola dan peruntukannya:
(a) Diberikan kepada anak perempuan sebagai hak kelolaan (bukan hak milik) karena anak perempuan tinggal di rumah dan tidak dianjurkan merantau.
Jika ia berkecukupan, maka hasil dari harta pusaka dibagi ke anggota keluarga besar yang membutuhkan dan diprioritaskan anggota keluarga yang perempuan.
(b) Tetapi jika tidak memiliki anak perempuan, maka harta pusaka dikembalikan kepada datuk kepala waris (sebagai hak kelolaan, bukan hak milik). Selanjutnya diberikan hasilnya kepada anggota keluarga yang membutuhkan.
Bagian kedua, referensi tulisan. Agar jawaban atas pertanyaan itu dilandaskan pada gambaran realitas yang sahih juga kajian yang mendalam, saya coba merujuk pada pandangan dan hasil kajian para ahli dan para guru dari tanah Minang yang lebih memahami ihwal realitas dan ketentuan fikih harta pusaka tua.
Sebagaimana penjelasan sebagian ulama mengatakan,
لا يفتى ومالك في المدينة
“Jangan berfatwa saat Imam Malik berada di Kota Madinah."
Berdasarkan informasi dan kajian ini, saya coba menjelaskan dengan beberapa penambahan akad fikih dari penulis sebagai pilihan dan khazanah.
Bagian ketiga, ketentuan fikih. Di antara ketentuan tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, status kepemilikan. Dari sisi fikih, harta pusaka tua dapat dikategorikan sebagai mal musytarak (harta bersama) karena dimiliki oleh anggota keluarga besar atau kaum secara kolektif.
Mal musytarak (harta bersama) adalah harta yang dimiliki oleh kelompok bukan perorangan. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan warisan satu rumah yang dimiliki oleh beberapa anaknya sebagai ahli waris, maka rumah itu statusnya dimiliki oleh anak-anak atau mal al-musytarak.
Contoh mal musytarak ini sebagaimana disebutkan dalam sirah,
وَ اَتَى عُثْمَانُ لِلْيَهُوْدِيِ رَغْبَةً مِنْهُ فِي مُسَاوَمَتِهِ بِهَا فَأَبَى أَنْ يَبِيْعَهَا كُلَّهَا، فَاشْتَرَى عُثْمَانُ نِصْفَهَا بِاِثْنَى عَشَرَ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَجَعَلَهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ.
“Utsman RA mendatangi Yahudi menawar untuk membelinya, tetapi Yahudi tersebut menolak untuk menjual semuanya, maka Utsman RA membeli setengah sumur Rumat dengan harga 12 ribu dirham, lalu menjadikan miliknya untuk umat Islam."
Kedua, beberapa pilihan akad dan kepemilikan. Dari sisi apakah harta pusaka tua saat diberikan kepada anak perempuan atau keluarga besar itu warisan atau pinjaman atau kuasa (wakalah) atau hibah bersyarat.
Coba dijelaskan dalam poin-poin berikut,
[1] Bukan warisan atau tirkah. Harta pusaka tua bukan warisan dan tidak diberikan sebagaimana ketentuan hukum waris (faraid), karena tidak memenuhi kriteria harta warisan menurut syara’.
Dengan begitu, pewarisan harta pusaka secara adat tidak menyalahi ketentuan hukum faraid. (Lihat Prof Dr Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Hal 332).
[2] Pinjaman (i’arah). Di mana keluarga besar (sebagai pemilik harta pusaka tua) sepakat untuk meminjamkan harta pusaka tua kepada anak perempuan atau pihak penerima untuk dikelola dan hasil pengembangannya untuk penerima.
Karena statusnya pinjaman, maka harus dikembalikan kepada keluarga besar setelah masa tempo tertentu sesuai perjanjian. Dalam pilihan ini berlaku seluruh ketentuan fikih terkait akad i’arah.
[3] Hibah manfaat bersyarat. Harta pusaka dapat dikategorikan sebagai hibah manfaat bersyarat.
Maksudnya, keluarga besar yang menjadi pemilik harta pusaka tua sepakat untuk menghibahkan manfaat aset kepada anak perempuan atau pihak penerima untuk dikelola sesuai dengan perjanjian, harta pusaka tersebut akan dikembalikan kepada keluarga besar.
Dalam pilihan ini berlaku seluruh ketentuan fikih terkait akad hibah dan hibah manfaat bersyarat.
[4] Harta yang dititipkan kepada anak perempuan (wakalah [muqayyadah] bil ujrah). Maksudnya, keluarga besar (sebagai pemilik harta pusaka tua) sepakat untuk memberikan kuasa kepada anak perempuan atau pihak penerima untuk mengelola harta tersebut dengan ketentuan hasil dari pengelolaan itu disalurkan untuk anak perempuan atau keluarga besar yang membutuhkan dengan kompensasi fee.
Dalam pilihan ini berlaku seluruh ketentuan akad wakalah seperti Fatwa DSN MUI No 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah dan Standar AAOIFI No 23 tentang Wakalah dan Tasharruf al-Fudhuli.
Ketiga, tuntunan bagi penerima amanah harta pusaka dan keluarga besar.
[1] Sebagaimana lazim dan berlaku dalam adat, harta tersebut bukan milik penerima (anak perempuan atau ketua adat) tetapi milik keluarga besar, dan anak perempuan diberikan hak kelola.
[2] Penerima hak kelola mengelola aset tersebut dengan amanah.
[3] Hal-hal tersebut itu diketahui dan disepakati oleh keluarga besar agar semua pihak ridha. Sebagaimana hadis Rasululah SAW,
...الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي).
“...Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi).
Wallahu a’lam.