• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Sayuran dan Buah-buahan Wajib Zakat?

Apakah ada perbedaan pendapat ulama mengenai zakat sayuran dan buah-buahan?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Mohon penjelasan Ustaz terkait hasil perkebunan, seperti sayuran dan buah-buahan, apakah wajib dikeluarkan zakat atau tidak? Apa dalil yang menjadi landasannya? Apakah ada perbedaan pendapat para ulama? --Adam, Kediri

Wa’alaikumusalam wr. wb.

Lembaga Fatwa Mesir menjelaskan secara panjang lebar ihwal perbedaan pendapat tersebut. Agar penjelasannya runut dan mudah dipahami, akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa para ulama telah sepakat (konsensus) bahwa kurma, ‘inab, gandum, dan sya’ir itu wajib zakat apabila memenuhi kriterianya berdasarkan hadis shahih.

Di antaranya, hadis Rasulullah SAW,

Hadis Abdullah bin ‘Amru RA marfu’: "(Telah ditetapkan) zakat pada hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), anggur kering, dan kurma." (HR. Daruquthni).

Dan hadis Rasulullah SAW,

Dalam lafazh lainnya, “Zakat sepersepuluh pada kurma, anggur kering, gandum dan sya’ir.” (HR Daruquthni).

Dan hadis Rasulullah SAW,

Hadits Umar bin al-Khaththab RA berkata, "Bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan zakat pada empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), zabib (kismis/anggur kering), dan kurma.” (HR Daruquthni).

Dan hadis Rasulullah SAW,

"Dari Abu Burdah bahwa Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal RA pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi SAW memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), zabib (kismis/anggur kering), dan kurma.” (HR Hakim dan Baihaqi).

Para ulama berbeda pendapat seputar ketentuan zakat selain kurma, anggur kering, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar).

Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat seputar ketentuan zakat selain kurma, anggur kering, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar).

Pertama, pendapat ulama mazhab Hanafi. Setiap hasil perkebunan seperti biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan itu wajib zakat.

Para ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat ihwal apakah hasil tani (selain empat komoditas tersebut) wajib zakat atau tidak.

(1) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hanya wajib atas setiap biji-bijian, sayuran, buah-buahan dan sejenisnya, sebagai hasil dari pengembangan lahan pertanian. Maksudnya, jika dengan sengaja mengelola lahan pertanian untuk mengembangkan lahan, maka wajib zakat.

Oleh karena itu, hasil tani yang tumbuh bukan karena kesengajaan (bukan karena digarap atau dikelola), maka tidak wajib zakat. Seperti tebu, kapuk, terong, dan semangka.

Jadi yang menjadi kata kunci adalah menyengaja sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh (10 persen), adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga maka zakatnya seperduapuluh (5 persen)." (HR Bukhari).

Hadis ini memberikan makna yang umum karena lafaz atau ungkapannya umum. Dan karena tujuan perkebunan tersebut untuk menjadikan lahan agar produktif.

Sebagai catatan, nama-nama hasil kebun terkait dengan kondisi di Arab pada zamannya. Tetapi jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, mungkin jarang terjadi.

Tetapi kata kuncinya, buah-buahan atau sayuran yang tumbuh sendiri tanpa digarap, maka itu tidak wajib zakat.

(2) Sedangkan kedua murid Abu Hanifah (Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad) berpendapat bahwa kewajiban zakat hanya berlaku pada buah-buahan yang telah dimiliki selama satu tahun (haul).

Kedua, pendapat mazhab Imam Malik. Yang wajib zakat terbatas pada kurma dan anggur (buah-buahan) serta beberapa jenis biji-bijian.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ada pemilahan antara buah-buahan dan biji-bijian. Terkait buah-buahan, yang wajib zakat hanya kurma dan anggur.

Sedangkan biji-bijian, yang wajib zakat hanya biji gandum, barley, sult (jelai tanpa kulit), jagung, biji gandum, beras, dan dari sejenis kacang polong yang tujuh (kacang humus, kacang brol, kacang adas, kacang lubia, kacang turmus, kacang julubban dan kacang polong), dan empat jenis minyak (zaitun, wijen, qirthim/tanaman penghasil minyak, biji lobak). Semua dua puluh jenis, selain itu tidak wajib zakat. (Syarh Kabir dengan Hasyiah Dasuqi 1/447).

Ketiga, pandangan mazhab Syafi’i. Hasil perkebunan wajib zakat adalah sesuatu yang menguatkan.

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang wajib zakat hanya hasil perkebunan yang menguatkan. Maksudnya, yang biasa dikonsumsi masyarakat pada umumnya, bukan makanan pelengkap atau obat-obatan.

Oleh karena itu, di antara hasil buah-buahan wajib zakat adalah anggur dan kurma.

Sedangkan biji-bijian wajib zakat, di antaranya: biji gandum, barley, beras, adas, serta seluruh makanan yang menguatkan seperti jagung, kacang humus, kacang baqila’. (Syarh al-Minhaj dan Hasyiatu al-Qulyubi, 2/19-20).

Keempat, pandangan mazhab Hanbali. Yang wajib zakat adalah yang bisa ditimbang dan disimpan tahan lama.

Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa zakat itu diwajibkan atas setiap hasil perkebunan yang memenuhi kriteria ditimbang dan bisa disimpan tahan lama.

Berdasarkan kriteria ini, di antara contoh-contohnya adalah setiap makanan yang menguatkan (beras dan jagung), sejenis kacang-kacangan (kacang brol, kacang adas, kacang humus, kacang masy, dan kacang lubia), dan jenis rempah-rempahan.

Walhasil, menurut ulama mazhab Hanbali, zakat tidak wajib atas setiap hasil perkebunan yang tidak menguatkan, tidak bisa tahan lama seperti buah-buahan atau biji-bijian yang disebutkan di atas.

Ulama mazhab Hanbali berdalil dengan hadis Rasulullah SAW,

"Tamr (kurma) maupun biji-bijian (kismis dan lain sebagainya) apabila kurang dari 5 wasaq maka tidak ada sedekahnya (zakatnya).” (HR Muslim).

Hadis ini menunjukan bahwa takarannya jadi rujukan, sedangkan kategori bisa disimpan karena hasil kebun yang tidak bisa disimpan itu nikmat belum sempurna karena tidak bisa dimanfaatkan pada masa yang akan datang.

Sedangkan pendapat kedua Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya -- juga Abu Ubaid, dan Sya’bi.

Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA bahwa zakat tidak wajib dalam setiap hasil tani selain empat jenis tersebut, karena itu makanan pokok masyarakat pada umumnya yang tidak berlaku atau yang tidak bisa dianalogikan pada hasil tani yang lain yang sejenis.

Dalil-dalil ulama yang berpendapat bahwa zakat tidak wajib dalam sayuran dan buah-buahan.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,

"Tidak ada zakat pada sayur-sayuran..." (HR Daruquthni).

Berdasarkan penjelasan ihwal perbedaan pendapat di atas, maka bisa disimpulkan pendapat ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa seluruh hasil perkebunan, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian itu wajib zakat adalah pendapat yang unggul dan rajih.

Berdasarkan penjelasan ihwal perbedaan pendapat di atas, maka bisa disimpulkan pendapat ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa seluruh hasil perkebunan, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian itu wajib zakat adalah pendapat yang unggul dan rajih.

Hal ini karena sebagai berikut.

(a) Pendapat- pendapat keempat mazhab sangat terkait dan dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu, pada saat kebiasaan masyarakat berubah, maka ketentuan juga berubah.

Buah-buahan, sayaruan, dan biji-bijian yang dicontohkan dalam setiap pendapat tersebut hanya contoh dan permisalan.

Oleh karena itu, contoh-contoh tersebut tidak menjadi kriteria jika saat ini kondisinya berubah, di mana sayuran, buah-buahan, atau biji-bijian tersebut tidak termasuk kriteria.

Intinya yang harus dirujuk adalah illat atau manath atau kriteria dan kondisi masyarakat saat ini.

(b) Pendapat ini lebih dekat dengan maqashid syariah, di mana salah satu maqshad atau tujuan dari zakat adalah semaksimal mungkin dan semudah mungkin memenuhi hajat dhuafa dan mereka yang membutuhkan.

(c) Sesuai dengan manhajiah atau metodologi dalam pembahasan fikih zakat, yaitu memudahkan para wajib zakat untuk berzakat. Di antaranya dengan memilih pendapat-pendapat yang memperluas kewajiban zakat dalam aset zakat, di antaranya pendapat ulama Hanafiyah tersebut.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia