• Sunrise At: 06:05
  • Sunset At: 17:53
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Berhaji dengan Visa Kunjungan (Visa Nonhaji)

Bagiamana pandangan syariah mengenai berhaji dengan visa kunjungan?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ada dua tetangga saya yang berhaji dengan visa ziarah atau kunjungan. Ceritanya, tetangga saya punya kerabat yang sudah lama tinggal di sana. Ia berangkat sebelum musim haji dan tinggal di sana hingga musim haji untuk menunaikan ibadah haji. Bagaimana pandangan syariahnya? --Winda, Solo

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Agar lebih runut dan mudah jawabannya, saya akan jelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, tentang apa itu berhaji dengan visa kunjungan. Otoritas Arab Saudi dan Indonesia telah mengatur bahwa calon jamaah haji harus memiliki visa haji.

Visa tersebut ditentukan berdasarkan kuota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi untuk setiap negara. Misalnya, atas dasar kuota haji Indonesia 240 ribu calon haji, maka Pemerintah Arab Saudi menerbitkan visa haji untuk Indonesia sejumlah 240 ribu.

Jumlah kuota tersebut ditentukan setelah mempertimbangkan ketersediaan fasilitas dan tempat manasik haji (seperti fasilitas dan area wukuf arafah, tawaf, sa’i, dan lainnya).

Berhaji dengan visa ziarah itu bisa diilustrasikan: seseorang yang datang ke Arab Saudi dengan visa mengunjungi kerabatnya yang tinggal di Arab Saudi. Ia pergi ke Arab Saudi sebelum musim haji, misalnya berangkat pada bulan Mei (bulan Syawal atau Zulqa’dah) dengan visa kunjungan kerabat tersebut.

Dan selama musim haji, ia manfaatkan izin tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Setelah ibadah haji, ia pulang ke Tanah Air.

Ia masuk ke Arab Saudi dengan visa kunjungan, tetapi visa ini dimanfaatkan untuk berhaji dan memanfaatkan seluruh fasilitas haji

Kesimpulannya, ia masuk ke Arab Saudi dengan visa kunjungan, tetapi visa ini dimanfaatkan untuk berhaji dan memanfaatkan seluruh fasilitas haji (tidak sesuai dengan pekruntukan visa atau izin masuk Arab Saudi).

Kedua, berhaji dengan visa kunjungan dilarang menurut syariah berdasarkan dalil dan referensi berikut.

(1) Melanggar ketentuan Otoritas Arab Saudi dan Indonesia. Pemerintah Arab Saudi telah menerbitkan aturan bahwa pemegang visa ziarah tidak boleh masuk dan tinggal di Makkah mulai 15 Zulqa’dah hingga 15 Zulhijjah.

Visa haji Indonesia terdiri atas visa haji kuota Indonesia dan visa haji mujamalah undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Visa kuota haji Indonesia terbagi dua, haji reguler yang diselenggarakan pemerintah dan haji khusus yang diselenggarakan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus. (Lihat Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah).

Sebagaimana hadis yang menegaskan kewajban untuk menaati otoritas di mana ia berada, selama aturan tersebut bukan penyimpangan syariah, tetapi memberikan manfaat.

"....Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (HR Bukhari Muslim).

(2) Merugikan jamaah haji yang lain. Karena dengan ia memanfaatkan fasilitas ibadah haji seperti fasilitas tawaf, fasilitas melempar jumrah dan lainnya, maka ia telah mengambil dan memanfaatkan fasilitas tersebut tanpa hak (ilegal atau tidak diizinkan).

Misalnya, jamaah haji ilegal itu jumlahnya 100 orang, maka seharusnya 100 fasilitas haji dimanfaatkan oleh jamaah haji resmi lain akhirnya membuat jamaah haji yang resmi tidak bisa menikmati fasilitas tersebut.

Syuriyah PBNU dalam musyawarah Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah-nya menegaskan bahwa praktik haji ilegal selain telah memanfaatkan hak orang lain tanpa izin (ghashab) tempat yang menjadi hak jamaah haji resmi, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina maupun di Makkah. Hal ini borpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat merugikan, bahkan membahayakan diri sendiri dan juga jamaah lain.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menegaskan bahwa prosesi ibadah haji wajib menggunakan visa haji. Keputusan ini didasarkan pada prinsip al-istitha’ah al-idariyah, yang menekankan pentingnya ketaatan dalam hal administrasi.

Penggunaan visa nonhaji oleh jamaah dianggap membawa banyak dampak negatif (mafsadah) bagi diri sendiri dan orang lain. Penumpukan jamaah haji yang tidak terprediksi oleh pemerintah setempat dapat mengakibatkan kerugian berupa sesak, pingsan, bahkan kematian.

Selain itu, jamaah dengan visa nonhaji dinilai telah mengambil hak jamaah haji yang telah lama menunggu dalam masa antrean yang cukup panjang.

Tindakan ini dianggap sebagai manipulatif dan penipuan dalam penggunaan visa, yang tidak hanya merugikan jamaah lain tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan ketertiban.

Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW;

"Tidak boleh membahayakan atau merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Daraquthni).

(3) Membuat ibadah haji jadi tidak tuma’ninah dan tidak khusyuk karena fasilitas yang seadanya. Khusyuk dan tuma’ninah itu menjadi salah satu keinginan jamaah haji. Karena mereka semua ingin memenuhi panggilan Allah, ingin menunaikan rangkaian ibadah haji dan umrah, berdo’a dan menunaikan sekian ibadah dengan penuh khusyuk, ketundukan, dan pengorbanan kepada Allah SWT.

Sungguh merugi jika berhaji dan beribadah tetapi tidak khusyuk karena ilegal, memanfaatkan fasilitas orang lain, dan berlari dari satu tempat ke tempat yang lain agar tidak tertangkap pihak keamanan.

Hal ini juga bertentangan dengan maqashid haji, yaitu mengunjungi Baitullah (memenuhi panggilan Allah), melakukan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim sebagai simbol pengorbanan kesabaran, dan lainnya.

(4) Dari sisi pemenuhan kriteria wajib haji juga; berhaji dengan visa nonhaji [kunjungan] itu belum memenuhi kriteria wajib haji karena pemenuhan kriteria aturan otoritas itu belum terpenuhi.

Sebagaimana sebagian ulama memaknai az-zad wa ar-rahilah itu salah satunya adalah kemanan di perjalanan (amnu thariq).

Hadis yang dimaksud adalah

Rasulullah SAW membaca ayat “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu”. Kemudian mereka berkata, "Wahai Rasulullah, apa itu as-sabil? Beliau SAW bersabda, “Perbekalan dan kendaraan." (HR Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi).

Ketiga, berdasarkan pemaparan tersebut, berhaji dengan cara legal sesuai aturan harus dilakukan agar bisa tuma'ninah dan khusyuk menunaikan ibadah, tidak ada aturan yang dilanggar, tidak merugikan pihak lain, dan agar ibadah hajinya mabrur seperti halnya doa setiap jamaah haji yang berangkat.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia