Cicil Kurban di Koperasi Syariah
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Di kantor saya ada penawaran beli hewan kurban dengan cara potong gaji dari koperasi syariah. Apakah boleh berkurban dengan cara dicicil (berutang)? Bagaimana ketentuan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. --Aisyah, Jakarta
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Kesimpulannya, berkurban dengan cara berutang melalui koperasi syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya itu dibolehkan dengan memenuhi beberapa ketentuan berikut.
(1) Pembeli (calon pekurban) memiliki kemampuan bayar. Hal ini sebagaimana merujuk pada adab-adab berkurban dengan cara berutang, yaitu (a) Utang tersebut halal dan terbebas dari kredit ribawi. (b) Tidak melalaikan akan kewajiban lain, apalagi kewajiban tersebut lebih prioritas ditunaikan. (c) Mampu melunasi utangnya sesuai kesepakatan.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili,
والقادر عليها عند الحنابلة : هو الذي يمكنه الحصول على ثمنها ولو بالدين اذا كان يقدر على وفاء دينه.
"Orang dinilai mampu oleh ulama Hanabilah adalah orang yang bisa mendapatkan hewan kurban meski dengan cara berutang, dengan catatan dia mampu membayar utang tersebut.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/2708).
Pada umumnya, jika transaksi ini dilakukan melalui lembaga keuangan seperti koperasi syariah, maka analisis risiko kredit itu sudah dilakukan. Di mana setiap pembiayaan oleh koperasi syariah kepada anggota atau kepada nasabah itu setelah memastikan kemampuan bayar, baik dengan cara payroll atau agunan, ataupun lainnya.
(2) Koperasi syariah atau lembaga keuangan syariah memiliki hewan kurban sebelum ia menjualnya kepada calon pekurban (pembeli).
Di mana, salah satu ketentuan yang harus dipenuhi oleh koperasi syariah (LKS) sebagai penjual adalah memiliki hewan kurban yang akan dijual kepada calon pekurban.
Sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN MUI No 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, “Akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank."
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Saya menemui Rasulullah SAW, lalu berkata, 'Seorang laki-laki datang kepadaku meminta agar saya menjual suatu barang yang tidak ada pada saya, saya akan membelikan untuknya di pasar, kemudian saya menjualnya kepada orang tersebut.' Rasulullah SAW menjawab, 'Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu'." (HR Tirmidzi).
(3) Memastikan hewan yang dibeli itu sesuai dengan kriteria hewan kurban menurut syariah, sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"Empat sifat yang tidak mencukupi untuk berkurban, yaitu buta sebelah matanya yang jelas kebutaannya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan yang tidak memiliki sumsum (kurus kering).” (HR An-Nasa’i).
Dan sebagaimana fatwa MUI, “Hewan yang dijadikan kurban adalah hewan yang sehat, tidak cacat seperti buta, pincang, tidak terlalu kurus, dan tidak dalam keadaan sakit serta cukup umur.” (Fatwa MUI No 32 Tahun 2022).
(4) Koperasi syariah atau lembaga keuangan syariah melakukan transaksi penjualan dengan calon pekurban (calon pembeli).
Di antara salah satu konsekuensinya adalah penjual bertanggung jawab hingga hewan kurban tersebut sampai dan diterima oleh pekurban.
Maksudnya, jika hewan kurban cacat di perjalanan sebelum sampai ke tangan calon pekurban (pembeli), maka itu menjadi kewajiban penjual (koperasi syariah/LKS).
Jika hewan kurban cacat di perjalanan sebelum sampai ke tangan calon pekurban (pembeli), maka itu menjadi kewajiban penjual (koperasi syariah/LKS).
Hal ini sebagaimana kaidah fikih terkait dengan prinsip atau teori wadh al-yad, di mana tanggung jawab itu menjadi bagian atau mengikuti kepemilikan.
Jika penjual sebelum serah terima memiliki hewan kurban tersebut, maka dialah yang bertanggung jawab terhadap kurban hingga diterima oleh pembeli.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"…Manfaat (didapatkan oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko.” (HR At-Tirmidzi).
Dan sebagaimana kaidah fikih,
"Risiko berbanding dengan manfaat."
(5) Hewan kurban diserahterimakan dalam tenggang waktu yang memungkinkan pembeli atau pekurban menyembelihnya di waktu kurban, yaitu hari raya Idul Adha (yaum an-nahr) atau hari-hari Tasyrik (hari ke-11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
Karena jika diserahterimakan dalam waktu yang tidak memungkinkan untuk disembelih di hari-hari tersebut, maka target atau muqtadha akad transaksi menjadi tidak tertunaikan.
Maksudnya, jika keterlambatan tersebut karena penjual, maka penjual telah lalai hingga kurban tersebut tidak menjadi kurban (tidak bernilai kurban), tetapi menjadi sedekah daging.
Wallahu a’lam.