Qabdh (Serah Terima) Berlaku untuk Seluruh Komoditas?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Perihal larangan menjual barang yang belum dimiliki atau belum serah terima (qabdh), apakah itu berlaku hanya pada makanan saja? Atau juga berlaku untuk seluruh komoditas atau barang yang diperjualbelikan? Mohon penjelasan Ustaz. --Harun, Bogor
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Dalam kitabnya Nail al-Authar (5/187), Asy-Syaukani menjelaskan, para ulama berbeda pendapat seputar jika serah terima menjadi syarat seseorang boleh menjual barang yang dibelinya, apakah itu berlaku untuk seluruh komoditas atau hanya komoditas tertentu saja?
(1) Menurut mayoritas ahli fikih (jumhur) ketentuan tersebut hanya berlaku jika yang dibeli adalah makanan. Maksudnya, seseorang dilarang menjual makanan yang dibelinya sebelum ia menerimanya (qabdh).
Tetapi jika yang dibeli bukan makanan, maka boleh dijual kepada pihak lain walaupun barang tersebut belum diterima.
Hal ini sebagaimana zahir nash hadis-hadis berikut,
Dari Jabir berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Jika kamu membeli makanan janganlah menjualnya sebelum menjadi haknya secara sempurna'." (HR Ahmad dan Muslim).
Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya sampai ia menakarnya terlebih dahulu.” (HR Muslim).
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang membeli makanan janganlah dia menjualnya sebelum menjadi haknya secara sempurna." Ibnu Abbas berkata, “Aku memandang segala sesuatu tidak lain kecuali seperti itu." (HR Jamaah kecuali at-Tirmidzi).
"Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya kembali hingga dia selesai menerimanya." (HR Jamaah kecuali at-Tirmidzi).
(2) Menurut Utsman al-Bitti, ketentuan tersebut berlaku untuk semua barang atau komoditas yang dibeli. Maksudnya, seseorang dilarang menjual barang atau komoditas apapun (makanan atau bukan makanan) yang dibelinya sebelum ia menerimanya (qabdh).
Hal ini sebagaimana zahir nash hadis berikut,
Hakim bin Hizam berkata, Aku berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah membeli dagangan, mana yang halal bagiku dan mana yang haram bagiku?" (Rasulullah SAW) bersabda, “Jika kamu membeli sesuatu, maka janganlah kamu menjualnya hingga kamu menerimanya.” (HR Ahmad).
Dari Zaid bin Tsabit, "Sesungguhnya Nabi SAW telah melarang untuk menjual barang di tempat pembeliannya hingga para penjual tersebut memindahkannya ke tempat tinggal mereka." (HR Abu Dawud dan Daraquthni).
(3) Imam Malik (dalam pendapat masyhurnya), al-Auza’i dan Ishaq itu berpandangan bahwa jika yang dibeli adalah barang yang masuk dalam kategori jizaf, maka harus diterima terlebih dahulu sebelum dijualnya.
Sedangkan jika yang diperjualbelikan itu adalah selain jizaf, maka boleh dijual sebelum ia menerimanya.
Mereka berdalil bahwa komoditas yang termasuk dalam kategori jizaf itu bisa dilihat sehingga taqabudh-nya (serah terimanya) cukup dengan takhliyah, dan al-istibqa itu hanya dilakukan dalam barang-barang yang bisa ditimbang dan ditakar.
Imam Malik juga berdalil dengan hadis Ibnu Umar berikut,
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Dahulu orang-orang berjual beli makanan dengan tanpa penakaran dan penimbangan (secara taksiran atau jizaf) di atas (harga) pasar, kemudian Rasulullah SAW melarangnya hingga mereka memindahkannya." (HR Jamaah kecuali at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadis tersebut menegaskan bahwa al-qabdh (serah terima) hanya menjadi syarat saat objek yang dibeli itu barang-barang yang ditakar atau ditimbang dan itu tidak berlaku pada barang jizaf.
Kemudian Asy-Syaukani menjawab pendapat Imam Malik tersebut bahwa hadis Jabir, hadis Abu Hurairah, dan hadis Hakim bin Hizam itu menjawab dan menegaskan bahwa larangan tersebut tidak hanya berlaku pada barang-barang yang ditakar dan ditimbang, dan tidak hanya berlaku pada makanan, tetapi setiap barang yang dibeli dan diperjualbelikan, baik makanan atau bukan, ditakar atau bukan, ditimbang atau bukan, jizaf ataupun bukan.
Asy-Syaukani menjelaskan,
ويجاب عن حديث ابن عمر وجابر اللذين احتج بهما مالك ومن معه بأن التنصيص على كون الطعام المنهي عن بيعه مكيلاً أو موزوناً لا يستلزم عدم ثبوت الحكم في غيره.
"Sedangkan hadis Ibnu Umar dan Jabir yang dipakai dalil oleh Imam Malik dan para ulama yang sependapat dengan beliau, maka sesungguhnya penyebutan makanan yang ditimbang atau ditakar dalam hadis tersebut tidak berarti ketentuan ini tidak berlaku dalam selainnya."
Pendapat rajih adalah pendapat yang kedua, yaitu ketentuan tersebut berlaku semua barang yang dibeli dan dijual.
Maksudnya setiap barang yang dibeli dan diperjualbelikan, baik makanan atau bukan, ditakar atau bukan, ditimbang atau bukan, jizaf ataupun bukan.
Wallahu a’lam.