Zakat Hasil Tambang dalam Fikih
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustaz, saat ini kan banyak aset hasil tambang seperti minyak dan lainnya. Bagaimana dalam fikih penjelasan tentang zakat hasil tambang? Apakah wajib zakat atau tidak? Bagaimana ketentuannya? -- Rahmat, Medan
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Disimpulkan hasil tambang itu wajib zakat saat mencapai nisab minimum senilai 85 gram emas (pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq), dan telah melewati satu tahun (pendapat Imam Ishaq dan Imam Ibnul Mundzir).
Selanjutnya dikeluarkan sebesar 2,5 persen (pendapat Imam Ahmad, Ishaq, Imam Malik, dan Imam Syafi’i).
Detailnya, Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam ensiklopedinya, Fiqh az-Zakah (1/433), menjelaskan secara lengkap zakat hasil tambang dalam khazanah fikih, yang bisa dijelaskan kembali dalam poin-poin berikut.
Pertama, apa yang dimaksud dengan ma’dan (hasil tambang)? Dalam bahasa Arab, hasil tambang disebut dengan ma’din (معدن), yang bermakna setiap aset bernilai yang diambil dari perut bumi seperti minyak dan emas (al-Qardhawi 1/433 menukil dari an-Nihayah / Ibnu al-Atsir 3/82).
Kedua, semua hasil tambang itu wajib zakat? Ada tiga pendapat ulama.
(1) Seluruh hasil tambang (tanpa terkecuali) wajib zakat (pendapat ulama madzhab Hanbali, Zaid bin ‘Ali, Baqir dan Ash-Shadiq).
Maksudnya, seluruh hasil tambang wajib zakat, baik yang cair seperti minyak atau yang keras seperti besi dan alumunium itu wajib zakat. Baik yang bisa dibentuk ataupun tidak itu wajib zakat (lihat al-Qardhawi 1/438 menukil dari al-Bahr az Zakhar 2/210).
(2) Hanya hasil tambang berupa emas dan perak yang wajib dizakati. Sedangkan hasil tambang selain itu tidak wajib zakat (pendapat Imam Syafi’i). Dengan demikian, besi, alumunium dan hasil tambang lainnya (selain emas dan perak) tidak wajib zakat.
(3) Hanya hasil tambang yang bisa diproduksi dan dibentuk dengan proses pabrik (mimma yanthabi’u bi an-nar / mimma yaqbalu ath-thuruq wa as-sahb) yang wajib dizakati.
Sedangkan hasil tambang yang tidak bisa diproduksi dan dibentuk (allati la thanthabi’) tidak wajib zakat (pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya / ashab). (lihat al-Qardhawi 1/438 menukil dari al-Mirqah, al-Qari 4/149).
Menurut al-Qardhawi, pendapat ulama mazhab Hanbali (setiap hasil tambang -- tanpa terkecuali -- wajib zakat) menjadi pendapat pilihan.
Karena dari sisi makna dan substansi, istilah hasil tambang itu umum berlaku untuk seluruh hasil bumi selama bernilai. Seperti halnya emas sebagai hasil tambang juga.
Bahkan al-Qardhawi mengungkapkan,
ولو عاش أئمتنا - رحمهم الله - حتى أدركوا قيمة المعادن في عصرنا و ما تجلبه من نفع وما يترتب عليها من غنى الأمم و ازدهارها؛ لكان لهم موقف آخر فيما انتهى إليه اجتهادهم الأول من أحكام.
“Jika para Imam mengetahui nilai hasil tambang seperti minyak yang menghasilkan kekayaan berlimpah bagi negara-negara produsen di dunia, maka para Imam akan mengubah pilihan ijtihadnya.” (Fiqh az-Zakah, al-Qardhawi, 1/439).
Ketiga, berapa tarif yang harus dikeluarkan? Ada tiga pendapat ulama terkait kadar wajib zakat hasil tambang.
(1) Kadar wajib yang dikeluarkan adalah 2,5 persen (pendapat Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Malik, dan Imam Syafi’i) (lihat al-Qardhawi 1/438 menukil dari al-Majmu’ 6/83).
Berdasarkan analogi terhadap tarif zakat emas dan perak, Imam Ahmad dan Imam Ishaq mengatakan,
وقال أحمد وإسحاق : الواجب فيه ربع العشر، قياسا على قدر الواجب في زكاة النقدين بالنص والإجماع وهو ربع العشر.
“Imam Ahmad dan Imam Ishaq mengatakan tarif yang harus dikeluarkan adalah 2,5 persen merujuk pada analogi terhadap tarif yang harus diberlakukan dalam zakat emas dan perak sesuai dengan nash terkait dan konsensus para ulama, yaitu 2,5 persen.”
(2) Kadar wajib yang dikeluarkan adalah 1/5 (pendapat Abu Hanifah, Zaid bin Ali, Baqir, dan ash-Shadiq).
(3) Ulama mazhab Malikiyah yang berpendapat bahwa kadar wajib ini dibagi dalam dua kategori:
(a) Jika hasil tambang tersebut didapatkan dengan biaya, maka tidak wajib zakat. (b) Tetapi jika hasil tambang tersebut didapatkan tanpa biaya, maka menjadi wajib zakat dengan tarif 2,5 persen atau 1/5. (lihat al-Qardhawi 1/440 menukil dari al-Muntaqa Syarh al-Muwatha 102).
Keempat, nishab (ambang batas minimum) zakat hasil tambang. Ada perbedaan pendapat fikih.
(1) Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq berpendapat, zakat hasil tambang ada nishab-nya. Maksudnya, hasil tambang wajib dizakati saat mencapai nishab, yaitu senilai nishab emas dan perak.
Hal ini merujuk pada nash-nash yang mensyaratkan nishab dalam zakat emas dan perak.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada kewajiban zakat jika unta kurang dari lima ekor, dan tidak ada kewajiban zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah (satu uqiyah ialah 40 dirham), dan tidak ada kewajiban zakat pada hasil bumi yang kurang dari lima wasaq (satu wasaq sama dengan 60 sha’ yaitu sekitar 656 kg gabah).” (HR Tirmidzi).
(2) Imam Abu Hanifah, murid-muridnya, dan al-Itrah berpendapat, tidak ada nishab dalam zakat hasil tambang. Maksudnya, setiap hasil tambang itu wajib zakat berapa pun yang dihasilkan, sedikit atau banyak.
Sebagaimana dijelaskan,
والمعنى فيه - كما قال الرافعي من الشافعية - أن النصاب إنما اعتبر ليبلغ المال مبلغاً يحتمل المواساة، والحول إنما اعتبر ليتمكن من تنمية المال وتثميره. والمستخرج من المعدن نماء في نفسه، ولهذا اعتبرنا النصاب في الزروع والثمار، ولم نعتبر الحول.
“Yang menjadi pesan adalah --sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Rafi'i dari ulama mazhab Syafi'i-- bahwa nishab diberlakukan agar aset tersebut menyampai kadar tertentu yang menunjukkan ia menjadi hartawan dan haul itu diberlakukan agar setiap aset bisa dikembangkan dan menghasilkan. Hasil tambang itu berkembang dari fisiknya. Oleh karena itu, kita memberlakukan nishab dalam zakat pertanian dan tidak memberlakukan haul.” (al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah 1/447 menukil dari Asy-Syarh al-Kabir, ar-Rafi’i 1/92).
Kelima, apakah disyaratkan haul? Ada dua pendapat dalam fikih.
(1) Menurut mayoritas ahli fikih, tidak disyaratkan haul. Maksudnya, setiap kali hasil tambang dihasilkan, maka secara otomatis wajib zakat tanpa harus menunggu satu tahun.
Imam Malik menjelaskan bahwa hasil tambang itu seperti hasil pertanian. Ia menjadi wajib zakat saat panen atau saat menghasilkan hasil tambang tersebut.
Pendapat ini juga pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam referensi mazhab Syafi’i.
Sebagaimana penjelasan Imam Malik,
قال مالك : المعدن بمنزلة الزرع، يؤخذ منه مثل ما يؤخذ من الزرع ، يؤخذ منه إذا خرج المعدن من يومه ذلك، ولا ينتظر به الحول، كما يؤخذ من الزرع إذا حصد العشر، ولا ينتظر أن يحول عليه الحول.
"Imam Malik mengatakan, hasil tambang itu seperti pertanian, di mana tarif yang dikeluarkan seperti tarif yang dikeluarkan dalam pertanian. Dalam hasil tambang tarifnya dikeluarkan pada saat menghasilkannya tanpa harus menunggu haul sebagaimana yang berlaku dalam zakat pertanian di mana tarifnya dikeluarkan pada saat panen sebesar 10 persen tanpa harus menunggu haul.” (al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah 1/449 menukil dari Al-Muwatha 2/104).
Sebagaimana dijelaskan,
وقال صاحب المهذب - من الشافعية - : يجب حق المعدن بالوجود (يعني بمجرد الحصول عليه) ولا يعتبر فيه الحول - في أظهر القولين - لأن الحول يراد لكمال النماء، وبالوجود يصل إلى النماء، فلم يعتبر فيه الحول كالزرع .
“Penulis kitab al-Muhadzab --termasuk ulama mazhab Syafi'i-- mengatakan, zakat hasil tambang wajib ditunaikan saat dihasilkan (maksudnya saat memperolehnya) dan tidak disyaratkan adanya haul --menurut pendapat yang rajih di antara dua pendapat-- karena haul itu diberlakukan saat ia sempurna berkembang. Oleh karena itu, dalam zakat hasil tambang tidak diberlakukan haul seperti halnya zakat pertanian.” (al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah 1/450 menukil dari Al-Muhadzab 6/80).
(2) Imam Ishaq dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa ada syarat haul merujuk kepada hadis-hadis yang mewajibkan adanya haul.
Tetapi menurut al-Qardhawi, hadis tersebut hadis dhaif yang tidak bisa dijadikan rujukan. Juga hadis tersebut bermakna umum dan telah dikhususkan oleh beberapa hadis seperti hadis zakat pertanian yang menjadi sumber analogi zakat hasil tambang.
Wallahu a’lam.