Berutang untuk Berhaji
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu'alaikum wr wb.
Apakah boleh berutang untuk menunaikan ibadah haji? Apakah dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu jika seorang yang berutang untuk berangkat haji? Bagaimana tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. --Ibrahim, Rangkasbitung
Wa'alaikumussalam wr wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, kaidah umumnya, haji hanya menjadi wajib bagi mereka yang memiliki kemampuan (istitha'ah). Sedangkan, jika tidak memiliki kemampuan, haji tidak menjadi wajib bagi mereka.
Maksudnya, jika tidak berhaji maka tidak berdosa. Para ulama ahli hadis seperti asy-Syaukani menjelaskan makna kemampuan tersebut bahwa yang dimaksud adalah mereka yang memiliki biaya ibadah haji dan juga biaya bagi keluarga yang ditinggalkan (Nail al-Authar, asy-Syaukani 4/431).
Bagian dari istitha'ah juga kondisi fisik yang sehat bisa menunaikan ibadah haji dan juga memenuhi ketentuan lain yang ditetapkan oleh otoritas.
Kedua, pada saat tidak mampu untuk menyediakan biaya tunai berhaji dan berutang, maka dibolehkan dengan memenuhi ketentuan berikut.
(a) Utang tersebut halal dan terbebas dari kredit ribawi. (b) Tidak melalaikan akan kewajiban lain, apalagi kewajiban tersebut lebih prioritas ditunaikan. (c) Mampu melunasi utangnya sesuai kesepakatan.
Ketiga, jika haji ditunaikan dengan utang tersebut, maka hajinya menggugurkan kewajiban.
Selanjutnya, jika pilihannya berutang untuk haji, seperti haji furada dan haji khusus, maka memilih berhaji melalui lembaga keuangan syariah seperti berhaji menggunakan kartu kredit syariah menjadi pilihan.
Keempat, dalil dan tuntunan, di antaranya adalah sebagai berikut.
(1) Pandangan beberapa ulama salaf, di antaranya:
Al-Khatib Asy-Syarbini mengatakan :
إنما يجوز الاقتراض لمن علم من نفسه القدرة على الوفاء.
“Berutang untuk haji itu dibolehkan, jika ia memiliki kemampuan untuk menunaikan utang tersebut.”
روى الإمام الشافعي، وابن أبي شيبة في "المصنَّف"، والبيهقي في "السنن الكبرى" -واللفظ له- عن عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه موقوفًا عليه: أنه سُئِلَ عن الرجل يَستقرض ويحج؟ قال: «يَسْتَرْزِقُ اللهَ وَلَا يَسْتَقْرِضُ»، قال: وكنا نقول: "لا يَستَقرِضُ إلا أَن يَكُونَ له وَفاءٌ".
“Imam Syafi'i dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam al-Mushannaf, dan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, dari Abdillah Ibnu Abi Aufa (Mauquf), ia ditanya ihwal seseorang yang berutang untuk berhaji? Ia mengatakan, 'Ia seharusnya mencari rezeki Allah SWT tanpa harus berutang.' Kemudian ia berkata, 'Kami mengatakan, ia tidak berutang kecuali ia mampu menunaikannya.'”
Sufyan ats-Tsauri mengatakan:
"لا بأس أن يحج الرجل بدَينٍ إذا كان له عُرُوضٌ إن مات ترك وفاءً، وإن لم يكن للرجل شيءٌ ولم يحج فلا يعجبني أن يستقرض ويسأل الناس فيحج به، فإن فعل أو آجر نفسه أجزأه مِن حجة الإسلام".
“Boleh seseorang berhaji dengan berutang, jika ia memiliki aset sehingga jika ia wafat, maka ia meninggalkan aset sebagai sumber pelunasan utang. Tetapi jika ia tidak memiliki aset apa pun hingga ia tidak berhaji, maka sungguh bukan aktivitas yang menakjubkan saat ia berutang dan meminta kepada orang lain agar bisa berhaji. Jika ia melakukan hal tersebut atau ia menyewakan jasa dirinya, maka hajinya tetap sah.”
Imam Nawawi mengatakan:
[لا يجب عليه استقراض مالٍ يحج به، بلا خلاف] اهـ.
“Seluruh ulama sepakat bahwa berutang untuk berhaji itu tidak wajib” (al-Majmu' Syarah al-Muhadzab (7/76).
(2) Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat berikut:
(1) Bukan utang ribawi; dan (2) Orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
Pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat berikut:
(1) Menggunakan akad syariah. (2) Tidak dilakukan di lembaga keuangan konvensional; dan (3) Nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup. (Fatwa MUI No 004/MUNAS X/ MUI/XI/2020 tentang Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan).
Walaupun fatwa di atas terkait dengan berutang untuk pembayaran setoran awal, tetapi secara substansi fatwa ini membolehkan melakukan pelunasan terhadap biaya haji yang lain di luar setoran awal karena keduanya sama-sama berutang dan peruntukannya untuk berhaji.
Kesimpulannya secara substansi berutang untuk biaya haji di luar setoran awal seperti haji furada dan khusus itu dibolehkan dengan memenuhi ketentuan dalam fatwa tersebut.
(3) Pandangan beberapa ulama kontemporer sebagai berikut.
Prof Dr Ahmad Karimah (Guru Besar Fikih Muqaran Universitas al-Azhar) menjelaskan bahwa haji itu wajib dilakukan tetapi bisa dilakukan kapan saja (muwasa). Ia juga menjelaskan bahwa walaupun berutang itu dibolehkan, tetapi tidak boleh dilakukan dengan cara kredit ribawi.
Sekretaris fatwa Dar al-Ifta Mesir, Dr Khalid 'Umran menjelaskan:
لا يجوز الاقتراض من البنوك لأداء فريضة الحج. لا تكلف نفسك بالاقتراض، لو لم تكن قادرًا وهناك التزامات دينية أخرى.
"Tidak boleh meminjam dari bank konvensional untuk menunaikan ibadah haji. Jangan membebani dirimu dengan berutang jika kamu tidak mampu menunaikannya, sementara ada kewajiban agama lain yang harus ditunaikan."
Syekh bin Baz menjelaskan bahwa berhaji hukumnya wajib bagi mereka yang memiliki kemampuan atau istitha'ah sebagaimana firman Allah SWT,
"...(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana ..." (QS Ali Imran: 97).
Mampu dalam kondisi tha'ah dalam ayat tersebut maknanya adalah memiliki kemampuan biaya keberangkatan haji, termasuk juga nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, ia tidak wajib haji dan tidak wajib berutang juga.
Namun, jika berutang, hajinya sah ditunaikan karena istitha'ah (memiliki biaya yang cukup untuk berhaji dan nafkah yang ditinggalkan) itu menjadi sebab wajibnya berhaji.
Wallahu a’lam.