• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Harga Diatur Otoritas, Tidak Wajib?

Bagaimana pandangan ulama salaf dan khalaf mengenai penentuan harga di pasar?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr wb.

Bagaimana pandangan ulama salaf dan khalaf terkait menentukan harga di pasaran (tas’ir)? Apakah harga di pasar harus diatur otoritas? Mohon penjelasan Ustaz. -- Mukhlis, Depok

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, jika menelaah bagaimana para ulama salaf dan khalaf membahas tas’ir, maka akan ditemukan sebagian bahasan tentang tas’ir (membatasi atau menentukan) harga komoditas di pasaran itu dibahas oleh para ulama bukan hanya di bab-bab terkait muamalah atau keuangan atau bisnis, tetapi juga di bab akidah atau kalam atau tauhid.

Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW tentang tas’ir yang di dalamnya mengutip al-Musa’ir sebagai bagian dari nama Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Anas berikut,

Dari Anas ia berkata, "Pernah terjadi kenaikan harga pada masa Rasulullah SAW, maka orang-orang pun berkata, 'Wahai Rasulullah, harga-harga telah melambung tinggi, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.' Beliau lalu bersabda, 'Sesungguhnya Allah lah yang menentukan harga, yang menyempitkan dan melapangkan, dan Dia yang memberi rezeki. Sungguh, aku berharap ketika berjumpa dengan Rabb-ku tidak ada seseorang yang meminta pertanggungjawaban dariku dalam hal darah dan harta'" (HR Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi).

Kedua, perbedaan ulama salaf dan khalaf terkait dengan tas’ir. Dalam bukunya Ushul al-Iqtishad al-Islami, Prof Dr Rafiq Yunus al-Mishri menjelaskan dengan sangat baik peta perbedaan para ulama salaf dan khalaf, dan analisisnya sebagai ahli fikih dan juga ahli ekonomi.

Beliau menjelaskan perbedaan pendapat para ulama sebagai berikut,

(1) Pendapat pertama, mayoritas ahli fikih melarang tas’ir sesuai dengan teks (zahir) nash hadis Anas tersebut.

Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah:

التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم يَقْدَمُوا بسلعهم بلدًا يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون.

"Jadi dengan adanya kebijakan penentuan harga komoditas oleh otoritas, maka itu menyebabkan harga barang naik karena supplier pada saat mendengar harga-harga barang itu telah ditentukan oleh otoritas, maka mereka tidak akan memasok barang tersebut ke daerah tertentu yang mereka tidak ingin dijual dengan harga yang tidak mereka inginkan."

ومَنْ عِندَه البضاعة يمتنع من بيعها ويكتبها، ويطلبها أهل الحاجة إليها، فلا يجدونها إلا قليلًا، فيرفعون في ثمنها ليصلوا إليها، فتعلو الأسعار، ويحصل الإضرار بالجانبين، جانب الملاك في منعهم من بيع املاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حرامًا.

"Termasuk mereka yang punya komoditas, mereka juga enggan untuk menjual bahkan menyimpannya, padahal mereka yang mempunyai kebutuhan mencari komoditas tersebut, sehingga terjadi kelangkaan di pasaran dan harga menjadi naik yang merugikan para pelaku pasar dan stakeholder. Dari sisi para pemilik, mereka dirugikan karena mereka tidak bisa menjual barangnya. Dari sisi pembeli, mereka tidak bisa membeli barang tersebut, sehingga penentuan harga ini diharamkan.” (al-Mughni 4/164 dan al-Muntaqa lil Baji 5/18).

Prof Dr Rafiq Yunus al-Mishri menulis bahwa gambaran yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah dan para ulama itu terjadi dalam kondisi atau realitas di beberapa daerah atau di beberapa pasar yang membuat kebijakan penentuan harga.

Di mana banyak komoditas disembunyikan di pasar-pasar gelap dan antrean panjang para konsumen karena membutuhkan komoditas yang langka di pasaran.

Banyak terjadi pelanggaran terhadap kebijakan tas’ir, seperti suap dan gratifikasi terhadap para petugas otoritas itu merajalela. Tetapi menurut Rafiq Yunus al-Mishri ini bukan akibat dari penentuan harga melainkan penentuan harga yang semena-mena

Banyak terjadi pelanggaran terhadap kebijakan tas’ir, seperti suap dan gratifikasi terhadap para petugas otoritas itu merajalela. Tetapi menurut Rafiq Yunus al-Mishri ini bukan akibat dari penentuan harga melainkan penentuan harga yang semena-mena.

Intinya, kesimpulan yang disampaikan oleh Prof Dr Rafiq Yunus al-Mishri adalah para ulama menegaskan bahwa hadis Anas melarang tas’ir karena untuk memitigasi risiko penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku pasar sehingga harga barang menjadi tidak sehat akibat monopoli dan sebagainya.

(2) Pendapat kedua, menurut sebagian ahli fikih seperti al-Mu’tazilah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, mereka membolehkan tas’ir dengan catatan itu adalah pengecualian. Sedangkan kaidah umumnya adalah ‘adamut tas’ir (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (al-Hisbah) 28/93).

Ketiga, pendapat pilihan. Sesungguhnya, jika menelaah pada beberapa referensi, maka akan ditemukan pilihan pendapat sebagaimana disampaikan oleh para ulama berikut,

(1) Al-Qadhi ‘Abdu al-Jabar membolehkan tas’ir apabila masyarakat telah sepakat. Kata tas’ir karena itu menguntungkan, memudahkan mereka, dan tidak merugikan pihak lain terkait.

Ia juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya para pemilik komoditas memiliki hak otoritatif terhadap aset yang dimilikinya. Ia boleh menjual dengan harga spesial atau tidak menjualnya selama kebijakan itu tidak merugikan pihak lain.

Ia juga menjelaskan bahwa tas’ir dapat berubah menjadi aktivitas yang tidak halal apabila dalam proses penentuan harganya tidak adil atau merugikan pihak lain, terlebih merugikan publik, khalayak, pasar, dan para pelaku pasar kecil (UMKM).

(2) Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) ialah sosok yang dengan lugas dan detail menjelaskan tentang konsep tas’ir dan ia membolehkan dalam beberapa kondisi:

(a) Pada saat kondisi krisis dan kebutuhan publik darurat akan logistik makanan dari pihak lain.

(b) Pada saat ada monopoli yang dilakukan oleh beberapa pemain besar atau pemain tunggal.

(c) Pada saat terjadi kelangkaan barang (hasrul wahid atau hasrul killah).

(d) Apabila terjadi permainan antara para produsen besar atau antara para pelaku pasar.

Ibnu Taimiyah menjelaskan:

أن يكون الناس قد التزموا أن لا يبيع الطعام أو غيره إلا أناسٌ معروفون، لا تباع تلك السلع إلا لهم، ثم يبيعونها هم، فلو باع غيرهم ذلك منع، إما ظلمًا لوظيفة ( = مبلغ مفروض) تؤخذ من البائع، أو غير ظلم، لما في ذلك من الفساد.

"Seharusnya para pelaku pasar berkomitmen bahwa komoditas tidak dijual kecuali oleh para pedagang pelaku pasar tertentu, di mana komoditas tersebut tidak dijual kecuali kepada mereka, kemudian mereka lah yang menjualnya. Jika terjadi komoditas tersebut dijual kepada selain mereka, maka itu menjadi aktivitas yang terlarang karena menzalimi atau melanggar profesional ketentuan atau harga yang diambil dari penjual. Atau walaupun tidak ada kezaliman tetapi itu merugikan pasar” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 28/77).

وقال : منع البائعين الذين تواطؤوا على أن لا يبيعوا إلا بثمن قدره أولى. وكذلك منع المشترين إذا تواطؤوا على أن يشتركوا (...) فإذا كانات الطائفة التي تشتري نوعاً من السلع أو تبيعها قد تواطأت على أن يهضموا ( = ينقصوا) ما يشترونه، فيشترونه بدون ثمن المثل، ويزيدون ما يبيعونه بأكثر من الثمن المعروف، وينموا ما يشترونه، كان هذا أعظم عدواناً من تلقي السلع، ومن بيع الحاضر للبادي، ومن النجش (= الزيادة في السعر تضليلا للمشترين لا لأجل الشراء).

“Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa para penjual di pasar itu tidak boleh bersepakat untuk tidak menjual komoditas mereka kecuali dengan harga yang lebih besar. Begitu pula para pembeli terlarang jika mereka bersepakat jika kelompok tertentu yang membeli komoditas tertentu atau menjualnya itu telah bersepakat untuk mengurangi barang yang mereka beli atau mereka beli yang tidak sesuai dengan harga pasar atau mereka menambah yang mereka beli dengan harga yang makruf atau mengembangkan komoditas yang mereka beli, maka apa yang dilakukannya ini lebih besar dari talaqis sil’a, bai' al-hadhiri lilbad, dan najasy (menambah harga untuk mengelabui para pembeli bukan karena pembelian)" (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 28/78).

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan beberapa kondisi tas’ir,

أن يمتنع أرباب السلع من بيعها، مع ضرورة الناس إليها، إلا بزيادة على القيمة المعروفة.

"Para pemilik komoditas menolak untuk menjualnya padahal pasar membutuhkan barang tersebut, kecuali para pembeli menambah dari harga pasar” (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 28/76).

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa mengapa Rasulullah SAW melarang atau menolak untuk membatasi harga komoditas di pasar dalam hadis Anas, karena kondisi tas’ir yang dibolehkan itu tidak terjadi pada masa di mana hadis tersebut turun.

Ibnu Qayyim dalam Turuk al-Hukmiyah memiliki pandangan yang sama persis dengan Ibnu Taimiyah.

Sebagai catatan, orang yang pertama menjelaskan tentang konsep at-tas’ir adalah al-Qadhi ‘Abdu al-Jabar al-Mu’tazily (wafat 415 H). Bisa dilihat di Al-Mughni fii Abwab at-Tauhid wa al-‘Adli lil-Qadhi ‘Abdu al-Jabar 11/55, ia membolehkan tas’ir dan menjelaskan bahwa tidak ada alasan untuk menolak at-tas’ir jika kebijakan tas’ir tersebut menguntungkan, memudahkan, dan memberikan maslahat kepada pasar.

Karena jika tidak, maka seluruh aktivitas yang baik itu akan dilarang dan akhirnya mewajibkan masyarakat untuk keluar ke medan perang untuk melindungi aset-aset publik seperti tanah, perut bumi, dan aset-aset lainnya.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia