Membayar Biaya Haji dengan Kartu Kredit Syariah
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Apakah boleh membayar biaya haji dengan menggunakan kartu kredit syariah? Bagaimana tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. --Syarif, Depok
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, gambaran. Di antara ilustrasinya adalah si A ingin berangkat haji bersama istri, orang tua, dan mertua, di mana total yang ingin berangkat 6 orang.
Kemudian menghubungi travel haji rekanan bank syariah. Setelah itu disepakati harga bahwa biaya hajinya itu Rp 500 juta. Pada saat pembayaran, si A menghubungi bank syariah untuk membayar kewajibannya menggunakan kartu kredit.
Praktis setelah itu tagihan muncul, dan bank syariah membayarkan tagihan tersebut ke rekening travel.
Selanjutnya, nasabah sepulang dari haji berkewajiban untuk mencicil hingga 3 atau 6 kali tanpa ada kelebihan atau cicilan 0 persen.
Berhaji furada atau khusus dengan menggunakan kartu kredit syariah sebagai alat bayar itu intinya berhaji dengan cara berutang atau meminjam dana dari lembaga keuangan syariah, tetapi tanpa ada margin atau kelebihan yang dibayarkan. Misalnya jika biaya haji furada itu Rp 400 juta, maka yang ia harus kembalikan itu Rp 400 juta tanpa ada kelebihan.
Para pihak yang terkait, yaitu bank syariah sebagai penerbit kartu kredit, nasabah pemegang kartu kredit sebagai calon jamaah haji, merchant atau mitra atau travel sebagai penyedia jasa manasik atau pemberangkatan haji nasabah.
Kedua, membayar biaya haji menggunakan kartu kredit syariah itu dibolehkan. Hal ini didasarkan pada:
(1) Karena pemegang kartu kredit atau debitur atau calon jamaah haji itu kategori mampu membayar kewajiban atau utangnya.
Di mana berutang termasuk untuk kebutuhan berhaji itu dibolehkan saat debitur mampu melunasi utangnya sebagaimana tuntunan dan dalil berikut:
(a) Sebagaimana Al-Khatib Asy-Syarbini mengatakan,
إنما يجوز الاقتراض لمن علم من نفسه القدرة على الوفاء.
“Berutang untuk haji itu dibolehkan, jika ia memiliki kemampuan untuk menunaikan utang tersebut.”
(b) Sufyan ats-Tsauri mengatakan:
لا بأس أن يحج الرجل بدَينٍ إذا كان له عُرُوضٌ إن مات ترك وفاءً، ... فإن فعل أو آجر نفسه أجزأه مِن حجة الإسلام.
“Boleh seseorang berhaji dengan berutang, jika ia memiliki aset sehingga jika ia wafat, maka ia meninggalkan aset sebagai sumber pelunasan utang tersebut... Jika ia melakukan hal tersebut atau ia menyewakan jasa dirinya, maka hajinya tetap sah.”
(c) Sebagaimana substansi dan maqashid fatwa MUI, “Nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.” (Fatwa MUI No 004/MUNAS X/ MUI/XI/2020 tentang Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan).
(d) Sebagaimana ketentuan bank syariah yang diberlakukan kepada pemegang kartu kredit, di mana kredit ini hanya diberikan kepada nasabah priority yang mampu melunasi kewajibannya (utangnya).
Di antara ketentuan tersebut selain pemegang kartu kredit adalah nasabah priority, di mana mereka memiliki saldo tabungan tertentu sesuai dengan ketentuan internal bank, juga angsuran yang dibolehkan itu terbatas seperti 3 bulan atau 6 bulan.
Sehingga dengan ketentuan ini memitigasi risiko gagal bayar. Ini berbeda halnya dengan kredit yang terjadi antar personal seperti seseorang berutang kepada tetangga atau kepada saudara yang terpapar risiko gagal bayar.
(e) Karena berhaji dengan kartu kredit syariah itu dilengkapi dengan asuransi syariah, di mana mereka yang membayar biaya haji dengan kartu kredit syariah itu juga membayar premi asuransi jiwa syariah sehingga saat qadarallah wafat sebelum atau sesudah berhaji, maka kreditnya menjadi lunas karena di-cover oleh asuransi syariah.
(2) Sesuai syariah dan terhindar dari kredit ribawi. Di mana berutang termasuk untuk kebutuhan biaya haji itu diperbolehkan saat kredit tersebut sesuai syariah dan terhindar dari kredit ribawi.
Di mana fatwa MUI mewajibkan saat berhaji dengan hasil pinjaman, maka pinjaman tersebut sesuai syariah.
Sebagaimana fatwa MUI, “Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat: menggunakan akad syariah...” (Fatwa MUI No 004/MUNAS X/ MUI/XI/2020 tentang Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan).
Kriteria dalam fatwa MUI tersebut itu terpenuhi dalam kartu kredit syariah karena hal-hal berikut: (a) Akad yang berlaku dalam kartu kredit syariah itu adalah akad qardh (kredit) dan kafalah bil ujrah (penjaminan dengan fee).
Di mana penerbit kartu kredit/bank syariah memberikan kredit kepada calon jamaah haji pemegang kartu kredit untuk membayar tagihan atau kewajiban biaya haji furada atau khusus kepada travel tanpa fee (hanya berkewajiban untuk membayar pokok kreditnya).
Selanjutnya, bank syariah/penerbit kartu kredit mendapatkan fee dari travel atas jasa mempertemukan mereka dengan nasabah pemegang kartu kredit sehingga mereka mendapatkan klien (ujratu taswiq wa ujratu samsarah).
(b) Diatur dengan ketentuan sebagaimana dalam Fatwa DSN MUI No 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card.
(c) Diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah bank syariah penerbit kartu kredit syariah serta Otoritas Jasa Keuangan untuk memastikan operasional kartu kredit syariah untuk yang berhaji tersebut itu patuh syariah.
(3) Memudahkan dan menguntungkan. Maksudnya, berhaji dengan kartu kredit syariah ini memudahkan calon jamaah haji/pengguna kartu kredit dan juga menguntungkan bank syariah penerbit kartu kredit karena:
(a) Cicilan 0 persen sehingga membantu mereka yang ingin berhaji. (b) Ada asuransi jiwa syariah dengan pembayaran premi dari peserta. (c) Potensi bisnis dari penerbit kartu kredit, di mana mereka mendapatkan fee dari merchant atau travel.
(4) Ihwal pinjaman ini tidak melalaikan akan kewajiban lain yang lebih prioritas, maka kriteria ini menjadi tanggung jawab pemegang kartu kredit atau nasabah.
Merekalah yang berkewajiban untuk mengukur atau menakar pilihan atau keputusan untuk berhaji dengan menggunakan kartu kredit syariah menjadi pilihan prioritas dalam manajemen keuangan keluarga atau tidak.
Wallahu a’lam.