• Sunrise At: 05:25
  • Sunset At: 17:49
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Bertobat dari Transaksi Ribawi, Bagaimana Caranya?

Bagaimana cara bertobat dari transaksi ribawi?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Awal menikah, kami tidak tahu bahwa bank konvensional itu riba. Suami ingin hijrah dari bank konvensional. Bagaimana cara tobat dari transaksi ribawi? Apakah boleh uang hasil bekerja di bank konvensional itu digunakan untuk kebutuhan kami? Mohon penjelasan Ustaz. -- Andini, Bekasi

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertama, bertobat kepada Allah SWT dan memohon ampunan, menyesali perbuatan dosa yang telah lalu, serta berusaha meninggalkan hal-hal yang dilarang.

Bertobat itu tidak cukup dengan ungkapan lisan, tetapi harus dibuktikan dengan perilaku, bahkan pengorbanan. Bahkan konsekuensi dari hijrah ini juga ditunaikan, seperti terkait dengan resign dari pekerjaan dan tidak memanfaatkan pendapatan yang tidak halal. Atau disebut dengan istilah taubatan nasuha.

Agar komitmen untuk tidak lagi melakukan transaksi ribawi, maka hijrah ini selain sebagai nikmat yang sangat besar yang harus disyukuri juga harus dirawat dengan istiqamah dan ihsan dalam beribadah kepada Allah SWT. Agar hijrah ini dengan segala konsekuensi dan pengorbanannya itu tetap survive dan tetap tegar.

Sebagaimana firman Allah SWT, "Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu...” (QS at-Tahrim: 8).

Kedua, dari sisi pekerjaan. Segera resign dari tempat kerja yang tidak halal dan mencari tempat kerja baru yang halal. Namun jika tidak memungkinkan untuk resign karena tidak ada sumber nafkah untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, maka dibolehkan tetap bekerja di tempat lama, tetapi wajib bersegera untuk mencari tempat kerja baru yang halal.

Ketiga, dari sisi pendapatan dari pekerjaan lama. (1) Jika seseorang melakukan aktivitas yang tidak halal (seperti kredit ribawi bagi debitur dan kreditur) dan mendapatkan kompensasi atau fee atas jasa yang tidak halal tersebut, maka ia tidak boleh memanfaatkannya sebagai pendapatan, tetapi disalurkan sebagai dana sosial dan tidak boleh dikembalikan kepada mereka yang memberikan fee tersebut.

Sebagaimana penegasan Standar Syariah Internasional AAOIFI, "Pendapatan nonhalal tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan apapun, walaupun dengan cara hilah, seperti digunakan untuk membayar pajak." (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 21 tentang Saham).

Al-Qardhawi menjelaskan, "Dana nonhalal itu kotor bagi pihak yang mengusahakannya, tetapi dana tersebut halal bagi (penerimanya) seperti dhuafa dan aktivitas publik. Karena dana tersebut bukan haram karena fisiknya, tetapi karena pihak dan sebab tertentu."

Sebagaimana Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, “Dana TBDSP wajib digunakan dan disalurkan secara langsung untuk kemaslahatan umat Islam dan kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah." (Fatwa DSN MUI No 123 tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah, dan Lembaga Perekonomian Syariah).

(2) Kecuali jika dalam kondisi darurat atau semidarurat. Misalnya setelah memutuskan untuk hijrah atau bertobat ternyata tidak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan mendasar, sementara belum ada pekerjaan baru, maka itu diperkenankan menggunakan sekadarnya.

Berdasarkan parameter ini, maka menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan mendasar diperbolehkan sesuai dengan kaidah,

الْأَمْرُ إِذَا ضَاقَ اتَّسَعَ (الأشباه والنظائر للسيوطي:ص83).

“Segala sesuatu jika sempit maka menjadi luas”. (Al-Asybah wa an-Nazhair, As-Suyuthi: 83).

Dan sesuai dengan kaidah,

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ (الأشباه والنظائر للسيوطي:ص83)

“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang." (Al-Asybah wa an-Nazhair, As-Suyuthi: 83).

مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا (الأشباه والنظائر للسيوطي:ص84)

“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat diukur sesuai dengan kadarnya.” (Al-Asybah wa an-Nazhair, As-Suyuthi: 84).

Sebagaimana penegasan Standar Syariah Internasional AAOIFI,

...لما قرره بعض الفقهاء بجواز انتفاع التاءب بما يسد حاجاته الاساسية من ذلك الكسب.

“Sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih yang membolehkan mereka yang bertaubat dari transaksi ribawi untuk memanfaatkan pendapatannya dari hasil riba tersebut untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya.” (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 6 tentang Konversi).

Keempat, penuhi adab-adab resign. Walaupun resign, tetapi semaksimal mungkin memenuhi kewajibannya sebagai karyawan. Tidak meninggalkan PR dan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan sebelum resign.

Walaupun ia meninggalkan pekerjaan yang tidak halal, tetapi tetap memenuhi kewajibannya sebagai seorang profesional selama sisa-sisa tugas dan kewajiban tersebut sesuai perjanjian dan harus ditunaikan.

Kelima, jadikan adab dan syariah sebagai lifestyle. Berikhtiar untuk menunaikan dan memastikan tuntunan syariah dalam kehidupan, baik di keluarga, pada saat bekerja, atau di komunitas sosial, semua ditunaikan dengan akhlaqiyat dan adab-adab Islami.

Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan langkah kita berikhtiar untuk mencari pendapatan yang halal dan berkah.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia