Kerja Sebagai Konsultan Politik
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya bekerja di perusahaan konsultan politik. Apakah ada tuntunan syariah tentang profesi sebagai konsultan politik? Apa saja yang harus diperhatikan dan dihindari menurut syariah? Mohon penjelasan Ustaz. --Yandi, Jakarta
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, biasanya saat perhelatan pemilu para calon menyewa dan menggunakan jasa konsultan politik sebagai bagian dari tim sukses untuk memenangkannya dalam kontestasi tersebut.
Pada umumnya, tugas-tugas konsultan itu beragam dan bergantung kontrak antara pemanfaat jasa konsultan dan para konsultan itu sendiri. Misalnya, para konsultan yang membuat strategi pemenangan, teknis pemenangan termasuk membuat tim pemenangan, konten dan aksi media, survei dan sejenisnya.
Selanjutnya, atas jasa tersebut, ia mendapatkan fee (upah) sebagai kompensasinya, baik paslon yang didampingi atau konsultansi tersebut memenangkan kompetisi atau tidak.
Agar lebih jelas, coba saya buatkan ilustrasinya. Pasangan calon wali kota dalam pilkada di daerah tertentu melakukan kontrak dengan perusahaan jasa konsultansi politik untuk memenangkannya dalam pilkada.
Jangka waktu kontrak akan berlangsung 6 bulan hingga penghitungan suara selesai dan putusan inkracht dari Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, butir-butir perjanjian tersebut termasuk hak dan kewajiban para pihak dituangkan dalam perjanjian dan disepakati, termasuk daftar kewajiban konsultan dan daftar kewajiban paslon dan timnya (pemanfaat jasa konsultan) untuk membayar sejumlah biaya tertentu kepada perusahaan jasa konsultansi sebagai kompensasi.
Kedua, sesungguhnya, secara prinsip menjadi konsultan politik dibolehkan, tetapi dengan syarat dan ketentuan (term and condition). Karena tugas dan implikasinya itu berkaitan dengan hal-hal lain, maka term and condition bisa dijelaskan sebagai berikut.
(1) Jasa konsultansinya harus sesuai syariah dan legal (sesuai peraturan perundang-undangan terkait). Di antaranya terhindar dari manipulasi, terhindar dari penipuan, terhindar dari mengadu domba, terhindar dari suap, terhindar dari mengumbar aib pihak lain, dan praktik terlarang lainnya.
Misalnya hanya menjadi mitra dari klien/paslon/timses yang sesuai dengan aturan dan tuntunan syariah.
(2) Klien pemanfaat jasa konsultansi. Kehalalan jasa konsultan sangat berkaitan dengan pihak penyewa jasa. Dalam praktiknya, kelaikan penyewa jasa sebagai klien bukan hanya ditentukan oleh integritas paslon, tetapi juga ditentukan oleh integritas komunitas pendukungnya:
[a] Paslon yang memiliki integritas dan tidak memiliki cacat hukum.
[b] Integritas kelompok atau entitas pendukung. Karena dalam kompetisi seperti pilkada, baik atau tidaknya paslon itu tidak hanya direpresentasikan oleh paslon itu sendiri, tetapi juga direpresentasikan oleh kelompok atau entitas yang mengusungnya karena merekalah yang akan dominan mengelola kekuasaan saat memenangkan pilkada.
(3) Setelah memastikan bahwa ide dan gagasan dalam konsultansi itu baik dan maslahat, maka selanjutnya memastikan bahwa usulan dan program tersebut bisa diterima dan dieksekusi oleh klien (mitra).
(4) Akadnya adalah akad ijarah. Jika memilih akad yang tepat untuk mengikat hak dan kewajiban antara pemanfaat jasa seperti paslon dengan tim suksesnya beserta penyedia jasa konsultansi, yaitu perusahaan konsultansi politik, maka akad atau perjanjian yang tepat adalah akad ijarah (jual beli jasa).
Jasa konsultansinya harus sesuai syariah dan legal (sesuai peraturan perundang-undangan terkait). Di antaranya terhindar dari manipulasi, penipuan, mengadu domba, suap, terhindar dari mengumbar aib pihak lain, dan praktik terlarang lainnya.
Ketiga, tuntunan syariah. (a) Sesungguhnya, peran konsultan politik sangat strategis, menentukan membantu kebaikan atau membantu maksiat.
Oleh karena itu, konsultan politik wajib dan harus memilih dan memilah mana paslon atau komunitas atau tim suksesnya yang bisa menjadi klien.
Walhasil tidak semua kesempatan projek konsultansi politik itu dapat diterima. Jika ide dan gagasan kebaikan yang dimiliki oleh konsultan politik itu dapat diterapkan kepada klien tersebut, maka itu memenuhi kriteria dan dapat diterima.
Namun sebaliknya, jika tidak memenuhi keriteria, maka tidak boleh diterima sebagai klien.
Persis seperti halnya pengacara, salah satu kewajibannya ia harus memastikan kliennya itu dalam posisi yang benar agar advokasi dan pembelaannya itu sesuai dengan tuntunan syariah.
Sebaliknya, jika seorang pengacara mengetahui bahwa kliennya itu dalam posisi yang tidak benar atau pihak yang zalim, maka tidak boleh diterima sebagai klien karena itu ia telah mengadvokasi atau membela yang zalim.
Sebagaimana firman Allah SWT, "...Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...” (QS al-Ma'idah: 2).
(b) Perusahaan konsultan politik harus memahami kaidah-kaidah fikih terkait, di antaranya ketentuan syariah mana yang boleh dan tidak boleh diterima sebagai klien.
Sebagaimana penjelasan sahabat Umar yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِيْ الدِّيْنِ.
"Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fikih (muamalah) dalam agama Islam."
Di antara salah satu makna yang terkait adalah perusahaan konsultan harus memahami tuntunan syariah.
(c) Dalam praktiknya, karena ini adalah kontestasi politik yang pada umumnya tidak semua pilihan itu antara hitam dan putih atau antara semuanya benar dan semuanya salah, tetapi pilihan-pilihan yang tidak ideal.
Dalam syariah, standar yang harus digunakan adalah fikih muwazanah. Oleh karena itu, menjadi kewajiban salah satu kompetensi dari konsultan ini memahami akan kaidah fikih muwazanah agar pilihan-pilihannya walaupun tidak ideal, tetap dalam koridor syariah.
Wallahu a’lam.