• Sunrise At: 05:55
  • Sunset At: 17:44
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Kredit Karbon, Bolehkah?

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi kredit karbon agar memenuhi kepatuhan syariah.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Mau bertanya soal kredit karbon. Waktu peluncuran Wakaf Hutan ada yang memberikan ide bahwa hutan wakaf yang kita miliki bisa dimanfaatkan kredit karbonnya. Jika hutan wakaf masuk bursa kredit karbon, maka sesuatu yang baru banget. Jadi kalau dari sisi syariahnya bagaimana Ustaz? Apakah skema kredit karbon ini diperbolehkan? -- Rendi, Jakarta

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Karena kredit karbon ini adalah permasalahan baru (mustajaddat atau mustahdatsat), dan karena dari aspek fikih; suatu masalah itu tidak bisa diberikan penilaian hukumnya sebelum dipastikan seperti apa gambaran utuhnya.

Oleh karena itu, terlebih dahulu akan dijelaskan seperti apa kredit karbon sesuai dengan bahan yang berhasil dihimpun dan wawancara dengan pihak terkait disertai hasil telaah penulis.

Penjelasannya sebagai berikut. Pertama, usaha produksi yang berakibat gas dan polusi. Kredit karbon ini lekat dengan istilah emisi, pembakaran, asap, polusi lingkungan, karbon, kredit karbon, trading karbon, dan sejenisnya.

Oleh karena itu, akan dijelaskan istilah-istilah tersebut. (1) Emisi adalah kandungan gas mesin yang dibuang ke udara (KBBI). Maka emisi karbon berarti gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon (CO2), seperti solar, batu bara, dan bahan bakar lainnya.

Jadi emisi karbon seperti asap yang timbul karena pembakaran sampah atau karbondioksida, dari pabrik-pabrik karena pembakaran batu bara atau bahan bakar, dan dari knalpot kendaraan karena pembakaran bahan bakar. Semuanya mencemarkan lingkungan dan membahayakan kesehatan.

(2) Beberapa aktivitas dan pembakaran yang mengeluarkan sejumlah emisi karbon itu berakibat polusi yang merugikan. Seperti kendaraan yang menghasilkan emisi melalui asap knalpotnya yang menyebabkan polusi udara. Dan AC yang mendinginkan ruangan itu menghasilkan emisi melalui pembuangan yang merusak lingkungan.

Kedua, pemerintah mewajibkan penggantian. Perusahaan diizinkan otoritas untuk mengeluarkan emisi karbon dalam proses industrinya. Misalnya, perusahaan bergerak di bidang penghasil produk kimia, maka ia diizinkan dalam kadar tertentu untuk mengeluarkan emisi.

Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2). Kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya.

Selanjutnya pemerintah memberlakukan secara mandatory kepada perusahaan-perusahaan yang dalam proses produksinya mengeluarkan sejumlah emisi karbon, harus dikompensasi dengan proyek-proyek hijau atau pembelian kredit karbon.

Ketiga, cara perusahaan atau entitas melakukan penggantian. (1) Di sisi lain, lahan-lahan hijau seperti hutan itu menghasilkan oksigen dan dapat dijadikan kompensasi atas emisi yang dihasilkan tersebut.

Misalnya, si A punya hutan di Kalimantan seluas 10 hektare, hutan yang dimilikinya itu menghasilkan kredit karbon senilai Rp 10 juta.

Kemudian perusahaan B yang mengakibatkan polusi udara (emisi) itu membeli kredit karbon melalui si A tersebut senilai Rp 10 juta. Jika transaksinya dilakukan secara manual, maka si A yang memiliki hutan itu menjual kredit karbonnya kepada perusahaan B, kemudian perusahaaan B transfer sejumlah Rp 10 juta.

(2) Untuk memudahkan pemahaman, kredit karbon bisa dijelaskan dengan padanan dan ilustrasi. Misalnya sebuah perusahaan yang melakukan penebangan terhadap pohon sehingga hutan menjadi gundul, harus dikompensasi dengan reboisasi.

Reboisasi adalah cara alami dan manual. Sedangkan cara lainnya adalah dengan membeli kredit karbon yang dihasilkan oleh lahan-lahan hijau.

(3) Jika transaksi dalam contoh di atas dilakukan trading karbon, maka saat ini karbon tersebut telah listing sebagai efek di bursa komoditas sehingga perusahaan bisa melakukan pembelian atau bertransaksi melalui bursa tersebut.

Keempat, cara perdagangan. Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Cara kerja perdagangan karbon bisa dijelaskan sebagai berikut. (1) Skema Perdagangan Emisi atau Emissions Trading Scheme (ETS). Dikenal juga dengan sistem cap-and-trade.

Skema ini umumnya diterapkan pada pasar karbon yang bersifat wajib karena emisi karbon yang diperdagangkan dibatasi jumlahnya oleh pemerintah.

Dalam skema ini, emisi yang diperdagangkan adalah untuk emisi yang akan dihasilkan di masa yang akan datang.

Peserta dalam mekanisme pasar ini terdiri dari organisasi, perusahaan, dan bahkan negara. Kewajiban pengurangan atau pembatasan emisi diterapkan dalam bentuk pengalokasian kuota di awal periode.

Peserta yang terkena pembatasan emisi wajib melaporkan emisi yang dihasilkan secara berkala (umumnya tahunan) kepada lembaga yang ditunjuk. Pada akhir periode peserta yang melewati batas dapat membeli tambahan kuota dari peserta yang memiliki kuota yang tidak terpakai (emisi yang dihasilkan lebih rendah dari batasan yang ditetapkan), dan sebaliknya.

(2) Skema Perdagangan Kredit Karbon. Dikenal juga dengan sistem baseline and crediting atau carbon offset. Skema ini tidak membutuhkan kuota di awal periode, karena yang dijadikan sebagai komoditas (disebut sebagai kredit karbon) adalah hasil sertifikasi penurunan emisi karbon akibat pelaksanaan atas proyek yang mereduksi emisi karbon.

Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton CO2. Pada skema kredit karbon, nilai kredit didapatkan di akhir suatu periode yang dapat dijual dan digunakan oleh peserta untuk memenuhi target penurunan emisi atau menjadikan posisi peserta menjadi carbon neutral atau zero emission.

Sedangkan untuk skema ETS, nilai kredit sudah ditentukan di awal, sehingga kredit baru dapat diperjualbelikan bergantung pada aktivitas usaha yang dilakukan oleh penghasil emisi.

Kelima, isu kepatuhan syariah. Jika merujuk kepada ketentuan dasar akad atau kontrak dan ketentuan lain, seperti fatwa DSN MUI No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli, Fatwa DSN MUI No 82/DSN-MUI/VIII/2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi, serta Fatwa DSN MUI No 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, maka dari sisi kepatuhan syariah ada beberapa hal yang harus dipastikan terlebih dahulu yaitu sebagai berikut.

(1) Terkait dengan para pihak (siapa pembeli siapa penjual dan para pihak terkait). Apakah para pihaknya adalah pemilik lahan hijau yang menghasilkan kredit karbon, dan pembelinya adalah perusahaan atau entitas yang diultimatum oleh pemerintah untuk mengganti kerugian lingkungan akibat emisi yang ditimbulkan dalam proses produksinya?

(2) Terkait yang diperjualbelikan. Di antara hal yang perlu dipastikan keberadaannya adalah barang adakah (wujud)?

Hal yang diperjualbelikan (objek trading) itu barang atau jasa? Apa spesifikasinya (apakah bisa diidentifikasi)?

(3) Terkait dengan kepemilikan dan perpindahan kepemilikannya. Di antara hal yang perlu dipastikan keberadaannya adalah apakah bisa dimiliki? Apakah bisa dipindahtangankan, bagaimana indikator kepemilikannya?

Karena karbon itu tidak kasat mata, apakah tidak bercampur dengan karbon milik lahan yang dimiliki B dengan lahan lain yang dimiliki C (di lahan yang berbeda).

(4) Terkait dengan harga dan alat bayar. Di antara hal yang perlu dipastikan keberadaannya adalah berapa harganya, spesifikasi, dan apakah bisa dipindahtangankan?

(5) Jika dilakukan pembelian di lantai bursa, bagaimana teknis dan jaminan eksekusinya.

(6) Apakah transaksi jual beli kredit karbon ini dapat dimitigasi agar tidak dijadikan alat untuk merekayasa moral hazard. Misalnya sebuah perusahaan itu bergerak di penambangan hutan atau aktivitas perusahaan yang mengakibatkan emisi besar-besaran.

Karena perusahaan memiliki uang, maka ia beli kredit karbon walaupun secara riil karbon itu tidak bisa nyata menjadi kompensasi atas reboisasi dan penghijauan.

Selanjutnya, dari sisi legalitas formal, trading karbon itu dikategorikan patuh syariah apabila trading karbon itu legal sesuai regulasi terkait (sebagai jual beli syariah dan ada persetujuan dari otoritas fatwa seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia).

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia