• Sunrise At: 06:05
  • Sunset At: 17:53
oni.sahroni24@yahoo.com +62 812-8910-5575

Pendapatan dan Menghitung Suara

Jika menambahkan atau mengurangi suara, apakah masuk kategori di surah al-Muthaffifin?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONIAnggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saat ini, pemilu masih dalam tahap penghitungan suara. Karena hasil penghitungan suara penting sekali, maka apa yang harus dilakukan petugas yang menghitung suara?

Jika menambahkan atau mengurangi suara, apakah itu masuk dalam kategori at-tatfif sebagaimana disebutkan dalam surah al-Muthaffifin? Apa saja aktivitas yang termasuk dalam kategori at-tatfif tersebut? Apakah penghasilan yang didapat halal? Mohon penjelasan Ustaz. -- Endar, Surabaya

 

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertanyaan tersebut coba saya jelaskan dalam poin-poin berikut.

(1) Ihwal apa yang harus dilakukan petugas dalam menghitung suara, menurut syariah di antaranya adalah memiliki dan merawat niat agar dengan aktivitas tersebut --selain menjadi sumber nafkah-- bisa menjadi panitia dan penyelenggara pemilu yang bersih, mengantarkan para calon terpilih yang berintegritas dan kompeten.

Ia juga memiliki komitmen melaksanakan tugas-tugasnya dengan profesional (ihsan) sesuai aturan atau regulasi, dan tuntunan syariah (fikih dan adab) terkait, menunaikannya dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas (al-amanah wa al-‘iffah).

Di antaranya: jujur, amanah, tidak boleh menambah atau mengurangi atas keinginan sendiri ataupun permintaan atau paksaan pihak lain. Tidak pernah menerima suap dari pihak lain atau hal terlarang lainnya.

(2) Menambahkan atau mengurangi suara termasuk dalam kategori at-tatfif sebagaimana disebutkan dalam surah al-Muthaffifin.

Sebagaimana firman Allah SWT, "Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!” (QS al-Muthaffifin: 1).

At-tatfif berarti ia mengurangi timbangan dan takaran yang seharusnya menjadi hak pihak lain. Jika yang terjadi adalah mengurangi atau menambahkan suara, maka termasuk dalam kategori at-tatfif atau al-Muthaffifin yang terlarang.

Misalnya, saat seseorang menjual 10 kg beras seharga Rp 100 ribu, dan ia menerima uang Rp 100 ribu. Tetapi takaran ia kurangi menjadi 9 kg. Jadi pembeli yang seharusnya mendapatkan 10 kg, hanya mendapatkan 9 kg.

Contoh dalam konteks penghitungan suara, si calon yang berdasarkan form C1 mendapatkan 10 ribu suara, kemudan dikurangi menjadi 8.000 suara, sedangkan yang 2.000 diberikan kepada pihak lain.

Bahkan apa yang dilakukannya melebihi at-tatfif (mengurangi takaran dan timbangan), tetapi menzalimi, merugikan, dan mengambil hak pihak lain secara bathil. Karena yang terjadi adalah mengurangi atau menambah atau menghapus suara sah untuk kepentingan pihak lain, maka itu kezaliman (termasuk dalam kategori zalim).

Tidak hanya kezaliman dan at-tatfif, tetapi karena perilaku terlarang ini akan mengantarkan pimpinan dan anggota legislatif yang seharusnya tidak terpilih menjadi terpilih.

Tidak hanya kezaliman dan at-tatfif, tetapi karena perilaku terlarang ini akan mengantarkan pimpinan dan anggota legislatif yang seharusnya tidak terpilih menjadi terpilih.

Pesta demokrasi yang seyogianya menghadirkan sosok yang memiliki integritas, tetapi akhirnya terpilih mereka yang tidak memiliki integritas. Mereka yang hanya mampu membeli suara dengan uang dan membahayakan atau merugikan masyarakat yang dipimpin karena tidak bisa menunaikan amanah.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR Bukhari).

Disimpulkan bahwa penyimpangan atau dosa yang dilakukan itu beragam, berlipat, dan besar (kaba’ir). Dosa mengurangi dan menambah suara seperti halnya at-tatfif, merugikan pihak lain, dan merampas atau mencuri suara sah dari mereka yang berhak karena diberikan kepada pihak lain, melanggar aturan yang berlaku. Bahkan, menjadi salah satu penyebab jika pihak yang direkayasa menjadi anggota legislatif atau eksekutif.

(3) Pihak yang terlibat berkontribusi dalam penyimpangan. Setiap pihak yang terlibat dalam manipulasi data dan suara ikut berkontribusi langsung terhadap penyimpangan atau dosa tersebut sesuai dengan tingkat dan besarnya penyimpangan yang dilakukannya.

Sebagaimana beberapa hadis yang mengategorikan penyimpangan tidak hanya terbatas pada pelaku tertentu sebagai pihak yang bertanggung jawab akan dosa dan penyimpangannya, tetapi setiap pihak lain yang berkontribusi akan penyimpangan itu dikategorikan sama-sama sebagai pelaku sesuai dengan kadarnya.

Di antaranya hadis Rasulullah SAW dari Jabir RA, "Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, penyetor riba, penulis transaksi riba, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Dan beliau bersabda, 'Semuanya sama dalam dosa'.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, penyimpangan tersebut bukan penyimpangan personal, tetapi kazaliman terhadap pihak lain yang dirugikan bahkan merugikan rakyat secara umum.

(4) Aktivitas yang termasuk penyimpangan dalam penghitungan suara. Jika terjadi penyaimpangan dalam penghitungan suara, baik mengurangi atau dengan menambah atau memberikan suara yang seharusnya tidak sah diberikan kepada pihak lain, maka itu adalah penyimpangan dan dosa (al-itsmu wal ‘udwan).

Karena dosa dan penyimpangan ini tidak mungkin terjadi kecuali karena keterlibatan beberapa pihak dan entitas, maka seluruh pihak yang terlibat hingga penyimpangan tersebut terjadi memikul dosa penyimpangan itu dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Karena dosa dan penyimpangan ini tidak mungkin terjadi kecuali karena keterlibatan beberapa pihak dan entitas, maka seluruh pihak yang terlibat hingga penyimpangan tersebut terjadi memikul dosa penyimpangan itu dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

(5) Penghasilan yang didapat dari penyimpangan. Saat ada penghasilan yang bersumber dari aktivitas yang melanggar aturan dan melanggar ketentuan syariah, maka pendapatan itu tidak halal.

Sebagaimana pengertian dana yang tidak halal, yaitu setiap pendapatan yang bersumber dari usaha yang tidak halal. (Lihat Mushtalahat al-fiqhi al-mali al-mu’ashir, Tim IIIT, hlm 62).

Sebagaimana Fatwa DSN MUI, “Dana TBDSP adalah dana yang diterima atau dikuasai oleh LKS, LBS dan LPS tetapi tidak boleh diakui sebagai pendapatan atau kekayaannya.” (Fatwa DSN MUI No 123/DSN-MUI/XI/2018 tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah, dan Lembaga Perekonomian Syariah).

Berdasarkan penjelasan dan fatwa tersebut, maka pendapatan yang diterima dari penyimpangan tugas itu tidak dapat diakui sebagai pendapatan (tidak dapat dimanfaatkan layaknya pendapatan halal yang lain), tetapi harus disalurkan segera untuk kebutuhan dhuafa atau fasilitas publik, layaknya infak dan sedekah karena termasuk dana yang tidak halal dimanfaatkan oleh pihak yang mengusahakannya, tetapi halal bagi dhuafa yang menerimanya.

Wallahu a’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 Rumah Wasathia