Saat Harga Barang Naik di Ramadhan
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu'alaikum wr. wb.
Di awal Ramadhan ini, harga beberapa kebutuhan pokok mengalami kenaikan. Bagaimana hukumnya menaikkan harga kebutuhan pokok di bulan Ramadhan? Dan bagaimana seharusnya menurut syariah? Mohon penjelasan Ustaz. --Maulana, Cibubur
Wa'alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, saat ini terjadi kenaikan harga barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, telur, dan daging.
Kenaikan tersebut menyulitkan masyarakat, khususnya di bulan Ramadhan karena mereka tidak mampu atau kesulitan membeli barang-barang yang menjadi kebutuhan mendasar tersebut.
Kedua, ketentuan hukumnya bisa dijelaskan dalam dua poin berikut. (1) Saat kenaikan harga terjadi karena monopoli yang dilakukan oleh para pelaku usaha besar, maka praktik itu diharamkan menurut syariah. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
Diriwayatkkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang melakukan monopoli, maka ia berdosa.” (HR Muslim).
Abu Yusuf dan asy-Syaukani menjelaskan bahwa monopoli itu terlarang, baik untuk kebutuhan primer ataupun sekunder (lihat dalam asy-Syaukani, Nail al-Authar, 5/2137).
(2) Begitu pula saat kenaikan harga terjadi karena beberapa pedagang menaikkan harga secara berlebihan, maka itu tidak dibolehkan karena bukan bagian dari adab-adab berjualan.
Di antara adab sebagai penjual adalah memberikan harga standar dan tidak berlebihan. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
Dari sahabat Jabir, Rasulullah SAW bersabda, “Allah memberikan rahmat kepada hamba yang toleran (mempermudah) saat menjual, saat membeli, dan saat melakukan tuntutan (menagih utang).” (HR Bukhari).
Ketiga, di antara jalan keluarnya adalah sebagai berikut.
(1) Pemerintah dan otoritas terkait berkewajiban untuk melakukan intervensi agar harga-harga barang yang naik bisa normal dan termitigasi sehingga bisa dibeli oleh masyarakat sesuai dengan kemampuannya.
(2) Para pelaku usaha atau para pedagang yang melakukan monopoli bersegera untuk menghentikan tindakan monopoli karena nyata merugikan kebutuhan mendasar masyarakat.
(3) Para pedagang yang menaikkan harga secara berlebihan atau tidak wajar menyadari bahwa keputusan tersebut terlarang karena tidak sesuai dengan adab-adab sebagai pedagang (ghabn fahisy).
(4) Masyarakat Muslim yang sedang berpuasa tidak konsumtif dan tidak belanja secara berlebihan.
Saat kenaikan harga di pasar diakibatkan oleh monopoli atau praktik terlarang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, maka otoritas berkewajiban melakukan intervensi agar harga kembali menjadi normal dan bisa dibeli oleh masyarakat.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
Diriwayatkan dari Anas RA, pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW harga-harga barang naik, kemudian para sahabat meminta Rasulullah SAW menetapkan harga.
Maka, Rasululah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT Zat Yang Maha Menetapkan Harga, Yang Maha Memegang, Yang Maha Melepas, dan Yang Maha Memberikan Rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kezaliman dalam darah dan harta." (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Secara tekstual, hadis tersebut melarang intervensi otoritas dalam bentuk penetapan harga komoditas tertentu.
Dan makna tekstual inilah yang menjadi kesimpulan banyak para sahabat dan tabiin hingga Imam Malik memberikan penafsiran bahwa larangan intervensi karena kondisi (illat/manath) tertentu, yaitu kondisi harga yang dilakukan oleh supply dan demand (pasar sehat).
Sebaliknya, jika kondisi pasar tidak sehat, terjadi monopoli yang dilakukan oleh para spekulan dan pemain tunggal di pasaran, maka intervensi otoritas untuk menetapkan harga dan kebijakan lainnya itu menjadi sebuah kewajiban, bukan lagi kebolehan.
Al-Muslahat fii fiqh al-maali al-mu’ashil juga menukil penjelasan Ibnu Qayyim, "Otoritas berhak untuk memaksa para pelaku monopoli untuk menjual barang-barang yang mereka timbun atau barang-barang yang mereka miliki." (Ibnu Qayyim, ath-Thuruq al-Hukmiyyah, 284).
Juga menukil penjelasan Muhammad (shahib Abi Hanifah), "Mereka yang melakukan monopoli itu dipaksa untuk menjual aset yang menjadi objek monopolinya dan tidak ditetapkan harga. Kemudian dikatakan kepadanya, 'Jual lah sebagaimana pasar menjualnya dan dengan tambahan harga di mana masyarakat mendapatkan keuntungan dari komoditas sejenis, dan tidak dibiarkan untuk menjual dengan harga lebih."
Dan sebagaimana tausiyah MUI, "Menjelang bulan Ramadhan ini ketersediaan bahan kebutuhan pokok di pasaran mengalami kelangkaan sehingga harganya mengalami kenaikan. Akibatnya daya beli rakyat berekonomi menengah ke bawah cukup rendah hingga mengalami kesulitan untuk mendapatkannya dengan harga yang terjangkau.
Maka, hendaknya pemerintah segera mengambil kebijakan intervensi pasar secara cepat dan tepat untuk menstabilkan harga dan menyediakan ketersediaan bahan pokok pangan di bulan Ramadhan dan seterusnya agar daya beli rakyat kembali dapat menjangkaunya.
Dengan demikian akan semakin menambah kekhusyukan umat Islam dalam melaksanaan ibadah di bulan Ramadhan." (Tausiyah MUI Nomor: Kep-24/DP-MUI/III/2024).
Wallahu a'lam.